Jumat, 21 Agustus 2015

Jatuh cinta sama temen sendiri

Sebenarnya tulisan ini udah mau di-post sejak beberapa pekan lalu. Tapi karena laptop Dedek keyboard-nya eror, charger-nya rusak, dan WiFi di rumah labil banget hidup-koma-hidup-koma mulu jadi tertunda buat nge-post. 

Oke, itu curhat gak penting. Buat manjang-manjangin tulisan doang sih. Hehe. 

Setelah kemarin bahas buku Senior High Stress, kali ini gue mau bahas novel ke sekian yang gue baca dua bulan terakhir. Ini libur kuliah lama banget gue hampir membusuk rasanya. Jadi salah satu cara agar otak tetap waras adalah dengan membaca. 



Judul: Cermin-Cermin Impian 
Penulis:  Stella Olivia
ISBN: 978-602-02-4612-3 
Penerbit: Elex Media Komputindo 
Tebal halaman: vii + 196 
Tahun terbit: 2014 

Sinopsis: 
Kau jelas berbohong kalau kau berkata bahwa kau pindah ke Kudus untuk meraih impianmu. Karena sekarang aku tahu, impianmu ada di sini ---Tania. 

Hansen dan Tania berjanji mewujudkan impian bersama. Hansen ingin punya restoran sendiri, Tania ingin menerbitkan novel-novelnya. 

Siapa sangka perjalanan mereka bersama harus terhenti karena salah satu di antara mereka menemukan impian lain, kekasih hati. 

Hansen yang menyimpan rasa dan selalu disematkan label 'teman terbaik' oleh Tania memilih pergi. Dia menyembuhkan rasa sakit hati dengan mewujudkan impiannya. Sendirian. 

*** 

Dilihat dari covernya yang unyu gue kira ini bercerita tentang kisah persahabatan dan cinta abege berseragam putih-abu, ternyata bukan. 

Novel ini bercerita tentang seorang gadis bernama Tania, gadis yang gemar menulis dan bermimpi menjadi seorang penulis hebat. Tania berteman dengan Hansen, seorang koki nomor satu di salah satu restoran terkenal di kota yang sama. 

Novel ini ceritanya ringan tapi gemesin. Sederhana tapi menggigit. Gak begitu jelimet konfiknya, Hansen naksir Tania, Tania naksir teman sekantornya; Leo. Leo dan Tania kemudian pacaran. Meskipun Tania tetap menjadi teman baik Hansen, tapi tetap aja kedekatan mereka berubah setelah Tania punya pacar. 

Karakter Tania itu selain baik dan lugu, dia juga gak peka. Gak sadar sama sekali sama perhatian Hansen yang mengistimewakannya. Eh enggak, gue salah. Tania sadar diistimewakan oleh Hansen tapi dia gak sadar kalau Hansen memiliki perasaan lain untuknya. Perasaan sayang bukan sebagai teman baik, tapi sayang sebagai lelaki kepada perempuan. 

Di bab awal, gue gemes banget sama Tania yang udah jelas dikasih perhatian sama Tansen, dimasakin, ditemenin, dikasih hadiah, tapi tetep aja sayangnya sama Leo. Yah, seandainya ketika kita mencintai seseorang bisa muncul tulisan 'I love you' di jidat mungkin akan lebih mudah. Dan si Hansen gak bakal merasa menderita karena cintanya yang tertahan untuk Tania. 

Buku ini menarik, konfliknya tetep bikin gregetan meski tanpa tokoh antagonis yang sadis. Penjabaran perasaan Tania, dan Hansen di sini cukup baik. Bahasanya juga baku jadi enak dibaca. 

Jatuh cinta sama teman sendiri emang biasa tapi yang membuat gue tertarik sama cerita ini adalah ketulusan Hansen dan pemikiran Leo. Hansen rela gadis yang dicintainya memilih orang lain dan tetap bersikap baik meski jelas-jelas menurut gue si Hansen rugi waktu dan perasaan. Dan Leo...yah, dia jadi pacarnya Tania dan dia berperan penting. Tanpa Leo, Tania tidak akan menyadari perasaannya. 

Ohya, ada kalimat yang gue suka dari Leo di halaman 173 "...cinta yang tulus berbeda dengan terpesona karena ia mencoba belajar melihat seseorang dari ketertarikan orang lain padanya." 

"Cinta yang tulus tidak akan belajar mencintai seseorang dari orang lain. Cinta yang tulus tidak perlu mencoba melihat seseorang dari sudut pandang orang lain. Dan cinta yang tulus tidak akan mencari kelebihan yang membuatmu terlihat cukup pantas untuk dicintai." 

Itu kalimat yang diucapkan Leo kepada Tania. Oke, gue cukup terpesona sama tokoh Leo di sini. Cowok mana yang mau ngerelain ceweknya buat ngejar cintanya sendiri padahal udah ada cincin mengikat hubungan mereka? Cuma di novel ini kayaknya. 

Tapi ada ucapan Leo kepada Tania yang bikin gue bingung di halaman 172-173. 

"Lalu, aku mencoba melihatmu dari cara Hansen mencintaimu. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertarik pada seorang Tania...." 

Errr... itu kan Leo bicara langsung sama Tania, kenapa gak langsung aja begini "Lalu, aku mencoba melihatmu dari cara Hansen mencintaimu. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertarik padamu." 

In my sotoy opinion lebih tepat begitu deh ehehe. 

Selebihnya novel ini bagus, buat Kak Stella, Dedek kasih 3 bintang buat novel pertamamu ini. 

Maaf kalau banyak kekurangan dalam review-nya Kak. Maaf juga nge-post nya lama. Jangan sampai ada dengki diantara kita hahaha. #Ngaco 

Senin, 27 Juli 2015

Senior High Stress dan segelas Vegeta

Beberapa waktu lalu, pas gue lagi berburu buku diskon di toko buku online, gue nemuin sebuah buku yang judulnya gokil dan mewakili isi hati: Senior High Stress karya Yoga Cahya Putra. Yang udah lama baca blog ini pasti taulah ya gimana perjuangan gue bertahan hidup saat masa putih abu-abu dulu. Ketika baca nama penulisnya kayak gak asing dan sering dengar. Ternyata penulisnya anak Kancut Keblenger, pemilik blog Siluman Cupang.

Eh, Capung maksudnya.

Karena gue males ke toko buku. Gue jadi sering beli buku secara online. (Padahal malesnya karena gak ada yang nganterin -____-) Terus kalau ke Gramedia langsung suka kalap dan pulangnya pengin jajan ini-itu. Gue juga gak mau proses pemutihan kulit gue selama berminggu-minggu gagal hanya karena satu hari. Masih dalam suasana lebaran kayak sekarang tau kali jalanan ganasnya kayak apa. Gue males buang-buang waktu kejebak macet dan panas-panasan. ‪#‎IniLebay‬

Gak lama setelah pesan, buku Senior High Stress dan buku pesanan gue yang lain pun datang. Begitu sampe di rumah, gue langsung seret paketnya ke kamar. Lalu gue sobek bungkus bukunya karena udah gak sabar.

Aslay! Biasanya gue kalau baca buku gak perlu foreplay dulu, selalu langsung ke menu utama. Tapi sama buku ini gak ada satu halaman pun gue lewatkan. Bahkan halaman ucapan terima kasih dan pengantar yang biasanya gue abaikan gue lahap habis sekarang.

Ini penampakannya. Gue anti mainstream dong. Kalau orang lain baca buku sambil minum kopi atau cokelat panas, gue minumnya ditemani segelas Vegeta.
Senior High Stress berisi tentang cerita-cerita gokil si penulis selama masa SMA. Cerita dari mulai MOS sampai lulus ujian. Keseluruhan kisah ya hampir sama kayak pelajar-pelajar lainnya (termasuk gue juga). Kayak misalnya banyak ulangan, banyak tugas, guru killer, razia yang bikin jantungan, cerita cinta monyet zaman SMA, dan perjuangan menempuh ujian.

Tapi yang paling gue suka dari semua bab di buku ini adalah bab: "Remedial Y U So Kampret?"
Asli deh bab ini gokil. Gue gak nyangka ada orang segini apesnya. Karena kelalaian guru, penulis harus ikut remedial padahal nilainya gak kurang dari KKM. Duh, kalo gue jadi Yoga, gue pasti udah ngebatin sama guru itu dan laporan ke Arist Merdeka Sirait.

Gue juga suka sama beberapa kalimat penulis dalam buku ini:
1. "Percuma dapet 100 kalau jawabannya nyontek sama teman, enggak ada rasa puas." Ada di bab Minggu Ulangan, Minggu Penuh Siksaan.

Kenapa gue suka sama kalimat diatas? Karena gue langganan remedial dalam pelajaran eksak tapi tiap ulangan gue ngerjain sendiri. Gue gak nyontek meskipun waktu sekolah dulu, gue sebangku sama juara umum. Buktinya setahun gue sebangku sama dia, cuma sekali saat ulangan Matematika gue gak remedial. Itu karena gue saking jujurnya tongue emoticon jadi ya pas baca kalimat itu pipi langsung merah merona berasa dibelain sama Aa Yoga hahaha.

2. "Sepinter apapun kalian kalau enggak ditambah dengan doa, usaha kalian akan sia-sia. Karena sebenarnya melalui doalah Tuhan melancarkan jalan kalian untuk lulus." Bab UAN Telah Tiba.

Baca kalimat ini, gue jadi keingetan temen gue. Panggil aja dia si Kumis. Pas hari-hari biasa hampir gak pernah gue lihat dia di mushola, saat jam salat dia malah melipir ke kantin. Saking gak pernahnya liat dia di mushola gue jadi curiga kalau selama ini dia nyembah kaleng.

Tapi pas menghadapi ujian kompetensi, baru deh gue liat si Kumis salat. Gak takut apa ya dikasih ujian hidup tiap hari sama Tuhan biar dia ingat ibadah?

3. "SMA bukan sekedar mencari nilai untuk lulus, tapi proses menuju lulus itu yang membuat SMA bener-bener indah." Bab Lulus.

Bukunya gak terlalu tebal, tapi isinya bikin tertawa terpingkal-pingkal.‪#‎Halah‬

Gue gak tau kenapa masih ada typo di buku ini. Gak fatal sih, salah satunya di halaman 169. Harusnya celana jadi calana. Calanan naon? Calana panjang atawa calana kolor? ‪#‎ngawur‬

Buku ini bisa bikin ketawa dan terenyuh disaat bersamaan. Tertawa karena lucu, dan terenyuh karena teringat kenangan yang gak akan bisa diulang. Gak rela rasanya pas sampe di halaman terakhir. Belum puas. Gue aja yang cuma penikmat ikut bahagia saat baca cerita nostalgokil ini. Apalagi penulis dan orang-orang yang diceritakan di sini ya? Ah, bikin kangen masa putih abu-abu.

Um...ini mungkin gak sah kalau dibilang review soalnya gue nulis ini sebagai selingan aja sih karena kelamaan ninggalin blog. *bersihin sarang laba-laba*

Rabu, 17 Juni 2015

Hati yang Baru

Jam yang terpaku di dinding menujukan pukul 2 siang. Sudah tengah hari dan Bintang baru terbangun. Jika semalam dia tidak menenggak dua butir diazepam, mungkin dia tidak akan bisa tidur sampai sekarang. Karena pikiran dan hatinya tidak bisa tenang.
Bintang merasakan lelah dan bersalah yang semakin membuncah di dadanya. Lelah karena usahanya untuk kembali mendapatkan Bulan berakhir sia-sia. Jangankan untuk memiliki, kesempatan untuk melihat Bulan pun tidak akan dia dapatkan lagi.
Kesalahannya telah membuat wanita yang sudah dia cintai belasan tahun lamanya kini jauh dari sisinya. Perasaan bersalah semakin membuat dadanya sesak, manakala dia teringat pada janjinya kepada Reza yang tidak akan lagi mengusik kehidupan Bulan― wanita yang pernah dia harap akan hidup dan menua bersamanya.
Bintang bangun dan menatap wajahnya di cermin. Dia terlihat berantakan. Kemeja yang belum dia ganti sangat kusut. Kantung matanya hitam dan jelas, rambutnya acak-acakan, bau alkohol dan nikotin tercium dari tubuhnya. Semalam, Bintang minum alkhol dan merokok lebih dari dua belas batang. Dia harap bergelas-gelas alkohol yang dia minum, bisa membuatnya mati. Dia terlalu pengecut untuk menghadapi hari ini.
Pening menghantam kepalanya, disaat yang sama kecewa yang menyerang hatinya bertubi-tubi datang. Dia teringat semua usahanya untuk memiliki Bulan. Susah payah dan jatuh bangun dia merusak  rumah tangga Bulan dan Reza, tidak sukses membuat Bulan dan dirinya hidup bersama. Nyatanya, kini wanita yang dia cintai kembali ke pelukan Fahreza Ibrahim―pria yang hari ini kembali menikahi Bulan. Sekeras apapun Bintang mencoba, usaha itu tetap tidak mampu merubah takdir-Nya.
 Bintang membantingkan tubuhnya diatas kasur. Dia merasa menjadi laki-laki paling tolol sedunia. Ketika bercinta dengan Bulan, dia sama sekali tidak berpikir bahwa itu akan membuat dia kehilangan Bulan selamanya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa cinta menggebu-gebu yang ada dalam hatinya justru menjadi penyebab dia merasa kecewa. Seperti inikah perasaan Reza ketika dulu Bintang merebut Bulan darinya? Jika sesaknya lebih dari ini, Bintang tidak mampu membayangkannya.
***
          Hari mulai beranjak sore, dan Bintang sudah tidak lagi peduli pada berjalannya waktu. Karena baginya siang atau malam tetap terasa gelap. Segelap hatinya yang pilu karena cinta tak sampai kepada Sinar Rembulan.
Bulan kini telah bahagia, bukankah itu yang diingkannya? Bisik hati Bintang bertanya. Dia sangat mencintai Bulan, tapi hatinya sendiri juga harus dibahagiakan. Entah kapan Bintang akan benar-benar merasa ikhlas. Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sinar matahari yang meredup, menandakan hari mulai petang. Sang bagaskara akan berganti oleh pekatnya langit malam, dan taburan bintang...tanpa bulan. Semesta pun seolah ikut menyadarkannya, bahwa Bulan dan Bintang tidak harus selalu bersama. Rasa panik menyergap hatinya, ketika langit mulai menggelap dan bayangan Bulan semakin menjadi-jadi dalam pikirannya. Bagaimanapun Bulan adalah wanita yang sudah dia kenal sejak lama. Bukan hal yang mudah baginya untuk melepaskan perasaan pada wanita yang sudah dia sayangi sejak masih sangat belia.
Masa-masa membahagiakan ketika dia dan Bulan masih bersama dalam status sahabat, sama sekali tidak terbayangkan olehnya bahwa kedekatan itu akan menumbuhkan rasa cinta yang sulit dilupakan apalagi dihilangkan.
Bintang semakin gelisah ketika dia ingat bahwa obat penenang yang dimilikinya sudah habis semalam. Dua butir diazepam yang seharusnya digunakan untuk dua kali minum, dia tenggak sekaligus kemarin karena rasa kantuknya tidak kunjung datang. Kesibukannya tidak membuat Bintang lupa pada Bulan. Hanya di kantor dia bisa menguatkan diri dan merasa hidup  baik-baik saja. Tapi setelah pulang, hatinya kembali hampa. Dia merindukan Bulan. Dia selalu berharap Bulanlah yang akan menyambutnya di rumah. Dengan senyum cantik yang dapat membuat lelahnya musnah.
Bintang mengacak rambutnya frustasi. Dia segera beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi untuk menyegarkan badan. Setelah selesai, dia ganti pakaiannya. Dan segera meraih kunci mobil yang tergeletak diatas meja. Bintang sadar kalau hidupnya tidak boleh terus menerus seperti ini. Bulan sudah bahagia dan seharusnya dia juga bahagia. Bintang mengendarai mobilnya tak tentu arah. Terpikir olehnya untuk mengkonsultasikan masalahnya kepada psikiater.
“Ah, masa iya gue segila ini?” tanyanya pada diri sendiri sambil meninju setir. Sementara pening yang menyerang kepalanya masih belum hilang.
“Gue bisa makin susah tidur kalau kepala sakit begini.” Keluhnya sambil mengurut kepalanya dengan tangan kiri. Tanpa berpikir panjang, Bintang langsung berbelok ketika matanya melihat klinik 24 jam.
***
Setelah daftar, Bintang menuju ruang pemeriksaan. Tidak banyak pasien yang berobat petang ini. Bau obat-obatan menyeruak bahkan ketika Bintang hanya baru dua langkah memasuki ruangan itu.
“Silakan masuk, duduk.” Ucap seorang perempuan berjas putih yang menggantungkan stetoskop di lehernya.
“Apa keluhannya Pak?” tanyanya kepada Bintang yang tidak mampu menyembunyikan wajah lelah dan gelisahnya.
“Kepala saya sakit terus,jadi susah tidur.”
“Selain itu, apa lagi?”
Bintang menggeleng. Hati gue juga sakit! Teriaknya dalam hati. Meski banyak yang kegelisahan yang dia rasakan, tidak mungkin dia menceritakannya pada dokter ini.
“Coba saya tensi dulu.”
Bintang mengulurkan lengan kirinya. Sphgymomanometer segera melingkar di lengannya, stetoskop diletakkan tepat diatas denyut nadi Bintang. Suara balon tensi terdengar menciut ketika pemeriksaan tekanan darah selesai dilakukan.
Dokter muda tersebut terlihat serius dan telaten ketika memeriksa Bintang. Tanpa sadar, ketika kulit lengan mereka bertemu, sentuhan yang dilakukan dokter itu mengirimkan sinyal kepada otak Bintang. Sentuhan seperti inilah yang dia butuhkan sekarang. Sentuhan wanita yang mampu membuatnya nyaman saat hatinya merasa gelisah tak berkesudahan. Rasa tertarik menyusup ke hatinya ketika melihat wajah cantik dokter itu tersenyum ke arahnya.
“Tekanan darah Bapak cukup tinggi. Bapak harus istirahat, tidak boleh kurang tidur.”
Bintang tak bergeming. Masih menatap dokter cantik itu dalam pandangannya. Menikmati rasa-rasa yang baru saja menyusup ke dalam hatinya.
“Pak? Pak Bintang?” ucap dokter itu mencoba menyadarkan Bintang yang menatapnya lekat.
“Eh, i...iya?” Bintang terkesiap.
“Tekanan darah Bapak tinggi. Bapak harus istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran.” Ucapnya sambil tersenyum melihat tingkah konyol pasiennya.
“Pola makannya juga dijaga ya. Konsumsi garam dikurangi. Ini resep untuk Anda. Obatnya diminum teratur.” Jelasnya sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan obat-obatan. Bintang tersenyum melihat kertas yang diterimanya.
“Ada apa, Pak? Anda memiliki riwayat alergi obat?”
“Oh, enggak. Saya baru lihat ada dokter yang tulisan tangannya rapi, bagus. Gak kayak benang kusut.” Jawab Bintang sambil tertawa kecil.
Dokter itu hanya tersenyum tipis dan tidak menanggapi perkataan Bintang.
“Terima kasih, semoga lekas sembuh.” Ucapnya seolah tidak ingin terlibat dalam obrolan panjang bersama Bintang.
Bintang mengangguk dan tersenyum. Dia menatap dokter itu sekilas yang sedang menyimpan sphgymomanometer ke tempatnya. Masa iya ini cinta? Bisik hatinya bertanya. Bintang kembali pada pikirannya, lalu melangkah menuju arah pintu untuk keluar dari ruangan yang bau obat-obatan itu.
Namun baru dua langkah meninggalkan kursi, Bintang berbalik seolah ada sesuatu yang dia lewatkan. Dokter perempuan yang tadi memeriksanya, menatap Bintang dengan ekspresi wajah penuh pertanyaan.
“Oh ya, nama dokter siapa?” tanya Bintang lugu. Laki-laki sekelas Bintang mendadak bodoh sekarang.
Dokter muda itu menatapnya bingung. Name tag terpasang di jasnya. Dalam resep juga tertulis namanya, untuk apa pasiennya menanyakan ini? Tanyanya dalam hati.
Melihat dokter perempuan itu tak kunjung menjawab, Bintang mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya yang indah.
“Bintang Lazuardi.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik. Tidak ada tanggapan.
Wajah Bintang seketika berubah. Dia menarik napas dalam-dalam. Siap mendapat malu karena mengira rasa yang masuk tergesa-gesa ke dalam hatinya adalah cinta. Cinta pada pandangan pertama. Rasanya sekarang dia ingin menguap menjadi gas.
Sampai pada detik ke sekian, dokter muda itu mengeluarkan suara.
“Saya... Amyra Fauzia.” Ucapnya sambil melengkungkan senyum dan menyambut uluran tangan Bintang.
Melihat dokter itu tersenyum, wajah Bintang juga menunjukan ekspresi yang sama. Meski dia sendiri masih tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini. Laki-laki matang sepertinya tidak mungkin jatuh cinta dengan instan, meski dia tidak membohongi diri bahwa dia tak mau hidup sendiri. Dan tak mau terus menerus terpuruk seperti ini. Sadar Bulan tak akan lagi dimilikinya, dan Bulan bahagia bersama Reza. Karena itulah Bintang mengumpulkan seluruh kekuatan untuk memulai kisah baru. Membuka perasaannya untuk hati yang baru.
***

Naskah ini diikutsertakan dalam give away yang diadakan oleh Asri Damayanti Tahir.

Jumat, 12 Juni 2015

Sebut saja dia Bunga

Pria baik tidak akan memberi harapan yang tidak bisa diwujudkan.
Tidak akan mengobral janji yang tidak mampu dia tepati.
***
Kisah ini terjadi di kamar kos berdinding hijau pucat. Jendela kamar itu tertutup rapat. Pintunya terkunci. Gordennya juga tertutup rapi. Di dalam kamar itu ada barang-barang khas anak kosan.Televisi, rice cooker, rak buku kecil, kipas angin, sebuah lemari baju, dan tempat tidur berseprai warna biru. Laptop, tas, sepatu, dan barang-barang lain tersimpan rapi pada tempatnya.
Kamar yang selalu bersih dan wangi itu dihuni seorang perempuan berwajah ayu. Sebut saja dia Bunga. Wajahnya sempurna tanpa cela. Senyumnya manis. Mata indahnya tidak membutuhkan riasan berlebihan. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi cukup menggemaskan. Kecantikan sederhana yang dia miliki, tidak membuatnya meragukan Tuhan dengan melakukan perubahan di sana-sini. Bunga hampir tak pernah mau repot-repot merias diri demi dipuji cantik. Satu-satunya hal yang membuat ia repot adalah ulah nakalnya beberapa bulan yang lalu.
***
Sore ini ibu kota diguyur hujan lebat. Gemuruh petir bersahutan. Dalam udara yang dingin, Bunga tidur lemas diatas kasur. Seluruh tubuhnya nyeri. Kakinya bengkak. Dia gelisah. Bunga berguling ke kanan dan ke kiri. Tangannya tak lepas mengelus perutnya. Pandangan matanya buram, Bunga terjatuh dari tempat tidur.
Bunga meringis sakit. Rasanya dia tak mampu untuk bangun dan naik ke tempat tidur lagi. Bunga membiarkan tubuhnya tergeletak diatas karpet beludru merah yang mengalasi lantai kamar kosnya. Keningnya berkeringat. Nafasnya terengah-engah. Tadi dia menyalakan televisi dengan volume agak keras. Memang sengaja untuk mengecoh penghuni kos lain agar tidak mendengar erangannya. Karena Bunga memiliki firasat, sekarang adalah saatnya. Meski dalam perhitungan, saat ini belum waktunya.
Tubuhnya bergetar. Kakinya terasa lemas. Karpet berwarna merah itu kini basah. Entah cairan apa yang keluar dari tubuhnya. Mengotori lantai kamar kosnya yang selalu bersih. Bunga berusaha meraih ponsel yang ada diatas kasur. Sayang, tubuhnya tak bertenaga bahkan meski hanya untuk menggeser  badan.
Seharusnya dia sekarang tidak sendiri. Pria yang bersumpah akan melakukan apa saja demi kebahagiaannya harusnya ada bersamanya. Pria yang pernah berjanji tidak akan meninggalkannya, di mana dia sekarang?
Bunga menatap langit-langit kamar kosnya. Menyapu pandangan ke setiap penjuru. Dia takut malaikat pencabut nyawa sudah bersiap-siap di kamarnya. Dia sungguh belum ingin mati. Setidaknya sampai dia mendapat maaf dari ayah dan ibunya. Dia tidak ingin mati sendiri. Setidaknya sampai ada seseorang yang menemukannya, dan menyampaikan bahwa dia sangat mencintai orang tuanya. Dia tak ingin mati sekarang. Setidaknya sampai kekasihnya tahu, bahwa saat ini Bunga hampir kehilangan nyawa karena perbuatan mereka.
Di detik-detik terakhir Tuhan akan menutup pintu maafnya, Bunga merasakan sesal yang menggunung dihatinya. Dadanya sesak luar biasa. Seandainya dia baik-baik menjaga diri, seandainya Bunga hanya memasrahkan cintanya kepada Tuhan, mungkin sekarang hatinya tidak akan sesakit ini. Ingin rasanya dia memohon maaf pada orang-orang yang hatinya sudah dia patahkan. Pada kepercayaan orang tuanya yang sudah dia buat berantakan.
***
Malam itu, dalam mobil  setelah pulang kuliah....
“Kamu tidak mencintaiku!” Pria itu memalingkan wajah.
“Aku mencintaimu.” Bunga menjawab dengan nada bicara yang meyakinkan.
“Tapi tidak sesayang itu!” Tukas kekasihnya. “Untukmu aku sudah berkorban banyak. Kuberikan apa saja yang bisa membuatmu bahagia.Tapi kamu?” Ucap pria itu sambil menatap Bunga dengan pandangan yang tajam.
Bunga teringat pada semua kesenangan yang sudah pria itu berikan. Hari-hari merah jambu bersama kekasihnya selalu tertulis apik dalam memoarnya. Kehangatan, perhatian, kasih sayang, dan hadiah-hadiah mewah yang mungkin tidak akan mampu dia beli meski menabung seumur hidup. Bunga terdiam sejenak. Kekasihnya telah memberikannya bahagia dan kebebasan yang tak pernah dia dapatkan selama tinggal di kampung. Aturan orang tuanya yang kolot membuatnya merasa terkekang. Sampai ketika ada kesempatan untuk meninggalkan desa dan kuliah di ibu kota, hati Bunga merdeka.
Bunga menatap wajah kekasihnya. Waktu, canda, dan kebahagiaan yang pria itu berikan begitu banyak. Pria itu mencintainya hampir sempurna. Hampir tak pernah membuat Bunga kecewa. Meski sebenarnya dibalik hati Bunga yang dibahagiakan, ada kepingan hati yang merana karena pengkhianatannya. Bunga bukan perempuan yang pertama. Karena setelah bersenang-senang bersamanya, pria yang usianya masih terbilang muda untuk menjadi ayah itu― akan kembali ke rumahnya. Kembali kepada istrinya. Kembali kepada anak dari perempuannya yang sah.
“Apapun yang terjadi padamu, aku janji akan bertanggung jawab.”
“Sungguh?”
“Apa aku pernah membohongimu?”
Bunga menggeleng. Dia merasa pria itu tidak pernah berbohong padanya. Padahal, pria itu telah melakukan banyak kebohongan pada istri dan anaknya.
 Malam itu Bunga mematahkan keyakinan dan norma-norma yang selama ini dijaganya. Sesuatu terjadi di jok belakang mobil kekasihnya.
***
Perut bunga semakin sakit. Lengan kanannya mencengkram tepi tempat tidur dengan kuat, sampai kukunya patah. Perempuan 20 tahun itu meringis kesakitan. Perutnya mulas seperti dililit ular phyton berukuran raksasa. Tulang-tulangnya terasa remuk. Ususnya seperti melilit lambung. Dia mengatur nafas. Bunga bisa merasakan irama jantungnya tak bergdegup seperti biasa. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menjerit menahan sakit. Seluruh tenaganya dikerahkan.  
Bunga menatap ke arah pintu. Berharap pria brengsek yang selama ini telah dia cintai akan datang. Lalu memangku tubuhnya menuju tempat bersalin terdekat. Atau paling tidak, ada menemaninya. Merelakan tangannya dicengkram demi Bunga yang sedang memperjuangkan hidup seorang bayi tak berdosa hasil perbuatan kotor mereka. Dan menyemangatinya dengan kalimat-kalimat yang menguatkan. Tapi tidak mungkin.
Sejak lima bulan lalu pria itu tak pernah datang lagi setelah Bunga menolak menggugurkan bayi yang tumbuh dalam rahimnya.
“Kalau kamu tidak mau menggugurkan kandunganmu, jangan harap aku akan kembali! Jangan pernah mencariku kalau kamu belum mau mati!” ancam kekasihnya dengan pandangan merendahkan. Lalu pria brengsek itu meninggalkan Bunga begitu saja seolah tak pernah ada cinta diantara mereka.
Saat itu ingin rasanya Bunga memaki dengan kasar. Membeberkan harapan palsu yang dulu dengan mudah kekasihnya janjikan. Tapi, Bunga juga menyadari kebodohannya. Dia baru mengerti, bahwa pria baik tidak akan memberi harapan yang tidak bisa diwujudkan. Tidak akan mengobral janji yang tidak mampu dia tepati. Setelah disakiti, dirusak, dan dikecewakan sampai sehancur ini Bunga baru menyadari bahwa kekasihnya tak lebih dari seorang pria bermulut besar yang tidak memiliki kesetiaan untuk perempuan.
Bunga mencoba tabah meski setelah kandungannya membesar hidupnya semakin tidak mudah. Bunga sadar betul, sakit yang dia rasakan adalah buah dari bibit ketidakbaikan yang dia tanam.
Setelah kepergian pria itu, seluruh barang-barang berharga yang pernah dia terima dijual. Untuk mencukupi seluruh kebutuhannya selama mengandung. Cinta sebelum waktunya telah membuat Bunga menjadi sesulit ini. Pendidikannya hancur. Bunga lebih memilih kuliahnya berantakan daripada melakukan aborsi. Dia tak mau menambah daftar panjang catatan dosanya. Selama delapan bulan, Bunga menutup diri. Menghindari orang-orang. Mengasingkan diri di ibu kota yang tak pernah sepi. Berpindah-pindah kosan agar tidak ketahuan teman. Tidak pulang ke rumah sejak kandungannya mulai membesar. Rumah orang tuanya di desa dan ibu kota berbeda pulau. Sehingga dengan alasan terlalu jauh, Bunga tidak pulang akhir semester lalu.
Tidak ada orang yang tahu tentang kehamilannya, selain Bunga, kekasihnya, dan Tuhan. Perawakan bunga yang kecil, membuatnya tidak terlalu kesusahan menyembunyikan kehamilan.
Bunga berjanji, kalau bayi ini lahir dia akan mengurus anaknya asal Tuhan mengampuni dosanya. Atau paling tidak, meringankan hukumannya. Dia siap didepak dari rumah. Dia siap diasingkan keluarga. Asalkan dia berkesempatan untuk menebus dosa dengan menghidupi bayi yang tumbuh dalam rahimnya. Karena Bunga tahu, kekasihnya tidak akan membantu. Pria itu pasti lebih memilih istri sahnya daripada seorang mahasiswi tolol yang mudah menyerahkan tubuhnya pada pria bermulut besar.
Bunga mengupayakan seluruh kekuatan yang dia miliki sampai tubuhnya terasa seperti robek. Dia merasakan sakit berkali-kali lipat dibandingkan tadi. Ada sesuatu yang  keluar dari tubuhnya. Dia mengangkat sedikit kepala untuk melihat ke bagian bawah daster. Ada banyak darah di sekitar paha dan selangkangannya. Kepala bayi yang baru saja dia lahirkan telah terlihat.
Bunga kembali mengatur napas. Merasa sedikit lega setelah melihat sebagian tubuh anaknya. Sedikit lagi...sedikit lagi! Bunga berteriak dalam hati. Masa paling berat dalam hidupnya akan berakhir setelah bayinya berhasil dilahirkan.
Tenggorokannya terasa kering. Dia kembali mengumpulkan tenaga. Namun Bunga tak mampu lagi melakukan apapun. Tenaganya habis. Bukan hal yang mudah untuk melahirkan seorang diri diusia semuda ini. Tubuh bayi malang itu belum seluruhnya keluar. Namun Bunga tak lagi bertenaga untuk melahirkannya.
***
Bibirnya tak akan lagi tersenyum. Mata yang dulu terlihat menggoda, kini sayu. Wajah yang dulu cerah, kini seperti mutiara kehilangan kilaunya. Mulut yang sering mengatakan cinta, mulut yang sering bicara manja, mulut yang pernah menghadirkan banyak tawa, kini tak bahkan tak mampu bicara. Hidung bangir yang akan sedikit berkeringat ketika lelah, kini tak mampu lagi membantu proses respirasi dalam tubuhnya. Selamanya.
Bunga yang bersimbah darah tergeletak diatas karpet beludru merah. Bayi malang yang belum tuntas kelahirannya, juga mati diantara kedua kaki ibunya.

*** 

Jumat, 01 Mei 2015

Untuk calon dokterku

Untuk calon dokterku,

Malam ini gerimis turun di kotaku. Di rumah hanya ada aku dan Ibu. Nenek dan sepupuku pergi liburan. Hari ini aku sengaja tak pergi kemana-mana demi menemani Ibu. Aku tak kuliah. Aku juga tak menyelesaikan draft tulisanku yang belum selesai. Anehnya aku malah menulis ini untukmu.

Aku tak mengerti angin apa yang membuatku teringat padamu. Sudah lama sekali kita tak bertemu dan tidak pernah berkirim kabar. Ini adalah salah satu usahaku  melupakanmu. Untuk apa aku terus peduli pada laki-laki yang datang menawarkan perhatian dan rasa cinta, namun justru pergi dengan perempuan lain? Aku tidak marah. Aku juga tidak cemburu. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa di hatiku tak ada lagi cinta untukmu.

Bagaimana ujian nasionalmu? Aku baru sadar kalau ujian nasional SMA sudah berakhir pekan lalu. Padahal aku pernah berharap akan menjadi salah seorang yang menyemangatimu kala ujian. Aku akan mengingatkanmu untuk membawa penghapus dan name tag ke sekolah. Aku akan menjadi sebawel ibumu  agar kamu mau minum vitamin dan menghabiskan susu. Aku siap menumpahkan banyak perhatian untukmu. Karena gadis belasan tahun ini mengira, kamu adalah laki-laki baik yang akan mengisi kekosongan hatinya. Iya, dulu aku berharap akan ada kisah cinta semanis itu antara kita. Peduli apa tentang usia? Tak masalah meski usiamu dua tahun lebih muda. Namanya juga sayang. Begitu kan, kata orang-orang yang jatuh cinta?

Namun itu tak pernah terjadi. Bahkan dalam mimpi sekali pun. Mengapa? Karena semesta tidak menginginkanku bersamamu.

Aku mengerti saat ini kamu sedang patah hati. Hubunganmu dengan perempuan itu berakhir, kan? Tentu saja aku tahu. Berita putus cintamu tersebar luas di media sosial. Bahkan mungkin drama putus cintamu berhari-hari menjadi headline gosip di sekolah. Izinkan aku tertawa untuk beberapa lama. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sesaknya mengisi lembar jawaban ujian dengan perasaan yang berantakan.

Saat ini aku mengerti mengapa semesta tidak mengizinkan kita bersama. Aku merasa sangat beruntung dengan kenyataan itu. Meski aku tidak pernah menjadi gadis yang istimewa di hatimu, setidaknya aku tak pernah membuatmu terluka. Apalagi menjadi perusak konsentrasimu saat ujian. Aku tak perlu membuang sedikitpun tenaga untuk membalasmu. Karena pada akhirnya luka yang kamu dapat lebih menyakitkan dari yang pernah kurasakan.

Sekarang tak perlu ada yang disesali. Nikmati saja patah hatimu. Siapa tahu bisa menghasilkan karya sepertiku.

Setelah ini aku tak ingin mendengar berita duka lagi darimu. Saat ini mungkin kamu sedang berada dalam masa-masa sulit setelah putus cinta. Tapi di akhir semester nanti, aku ingin mendengar kamu lulus dan diterima di peruguruan tinggi negeri yang sering kamu ceritakan. Dan kamu masuk di fakultas kedokteran seperti yang kamu inginkan.

Ohya, kamu harus ingat menjadi seorang dokter bukanlah pekerjaan yang mudah, Sayang. Kamu harus punya naluri seorang guru untuk memberikan pengertian kepada pasien. Harus teliti seperti detektif saat mendiagnosa. Dan tentunya seorang calon dokter harus punya jiwa yang tangguh untuk menghadapi berbagai macam karakter pasiennya. Seorang calon dokter harus punya fisik yang sehat untuk mengabdi pada masyarakat. Jika putus cinta saja sudah membuatmu gegana, kusarankan hapus saja mimpimu jadi dokter.


Garut, 23 April 2015

dari perempuan yang pernah kau abaikan.

Jumat, 17 April 2015

Selamat Ulang Tahun, Ica


            Ditahun ke-4 pertemanan kita, Allah masih belum mengizinkan kita bertemu. Padatnya kegiatanku dan kewajiban yang tidak bisa kutinggalkan, memperlambat langkahku untuk menemuimu. Rencana hanya tinggal wacana. Padahal kita sekarang berpijak di kota yang sama. Mungkin kita menganggap bahwa rencana pertemuan kita sudah pada waktu yang baik, tapi ketetapan Allah selalu yang terbaik. Meski rasa penasaran sudah memuncak di ubun-ubun, percaya saja Allah sudah mempersiapakan waktu yang tepat untuk kita bertatap wajah suatu hari nanti.

            Selamat datang diusia ke-21, Ica. Saat aku mengenalmu dulu, kita masih menjadi gadis belasan tahun yang ingin segera punya KTP. Aku tidak lupa bagaimana awalnya kita saling mengenal sampai bisa menjadi teman. Kamu adalah salah satu alasan, mengapa sepulang sekolah aku tak sabar untuk membuka laptopku dan duduk lama-lama di depannya.

Aku punya kesulitan bagaimana memulai perkenalan ketika bertemu orang baru. Namun melalui media sosial yang luas dan tanpa batas, aku bisa melatih diri berkenalan dengan orang lain. Pertengahan tahun 2011, aplikasi Heello menjadikan kita teman maya. Hanya melalui layar ajaib laptop kita bisa saling menyapa dan bercerita.

            Tahun terus berganti. Kini, kamu bukan lagi stranger  ramah yang menyapaku di media sosial. Kamu telah menjadi temanku. Teman yang belum pernah kutatap langsung wajahnya, dan belum pernah kudengar langsung suaranya.

            Diulang tahunmu yang ke-21, semoga Allah selalu menaungi langkahmu. Semoga tak banyak kesulitan mengganggu cita-citamu. Semoga kesehatan dan keberuntungan menyertaimu.

            Terakhir, terima kasih sudah baik padaku. Terima kasih sudah  menyediakan telinga ketika aku butuh tempat cerita. Terima kasih sudah mendukungku untuk terus menulis. Tetap jadi Ica sayang pada orang tua, dan baik pada semua orang. Satu hal yang kupelajari dari mengenalmu adalah: kita hanya perlu membagikan banyak senyuman dan membuang keangkuhan untuk punya banyak teman.
            
             Selamat ulang tahun, Ica.

Bandung, 17 April 2015
dari temanmu yang jauh,

Lulu Syifa Fauziah.

Kamis, 16 April 2015

Untuk Cici #2

Surat sebelumnya.

          Surat ini hanyalah surat yang pendek. Aku menulisnya ditengah cerpen-cerpen yang berceceran, dan tugas-tugas yang belum kuselesaikan. Tapi, jangan kira kesibukan akan membuatku lupa pada ulang tahunmu. Kakak yang hanya 4 bulan lebih tua darimu ini memang sibuk. Tapi sepadat apapun kegiatanku dari Senin sampai Minggu, aku menyempatkan diri untuk menulis ini untukmu.

            Siapa yang mengira kalau pertemuan kita saat ulang tahunku akhir Desember lalu akan menjadi perpisahan yang panjang, karena sampai bulan ke-4 tahun ini, kita belum bertemu lagi. Padahal dikepalaku ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Tentang kuliahku, tentang karirku, tentang mimpi-mimpiku yang baru. Nanti, kalau kita punya waktu yang cukup luas untuk bertemu akan kuceritakan semua yang terjadi padaku selama kita tak bertatap wajah.             

Bagaimana rasanya sampai diusia ke-19? Ditahun terakhir usia belasanmu ini semoga semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud bisa segera menjadi nyata. Tidak ada hal yang paling membahagiakan selain terkabulnya doa. Jadi, dipertambahan usiamu hari ini, aku berpesan supaya kamu tidak menjauhi Allah. Karena hanya Dia-lah yang bisa membuat semua harapanmu terjadi.

            Terakhir, aku berterima kasih untuk pertemanan yang terjalin dengan begitu baik selama 2 tahun ini. Kita tak pernah bertengkar. Hampir tak pernah. Terima kasih sudah baik padaku, dan mau berteman denganku yang serba nano-nano; irit ngomong, plin-plan, cengeng, ambisius dan banyak lagi kekuranganku yang telah kamu toleransi tanpa berat hati.

            Selamat ulang tahun Cici!

Bandung, 16 April 2015
dari temanmu,
Lulu Syifa Fauziah

Selasa, 31 Maret 2015

Sakit Tifus, Mengapa Pasien Harus Istirahat Total?

Sebelum membaca artikel ini, Syifa peringatkan mendingan kalian jangan baca sambil makan deh.

Beberapa waktu lalu Syifa ketemu sama seorang Ibu muda. Panggil saja namanya Mawar #halah. Dia mengeluh kehilangan nafsu makan. Perut kembung, nyeri dan susah buang air besar. Sakit kepala dan demam naik-turun. Aku kira dia konstipasi karena banyak jajan seblak, es, dan gorengan. Tapi setelah didiagnosa dokter, Ibu  itu kena tifus sehingga disuruh bed rest.

Kenapa sih pasien tifus harus bed rest? Padahal Ibu itu masih mampu lho berobat ke dokter sendirian. Setelah dicari tahu ternyata begini penjelasannya.
          
Typus abdominalis atau disebut juga demam tifoid yang lebih kita kenal sebagai penyakit tifus merupakan infeksi pada saluran pencernaan dengan gejala demam antara 7-14 hari. Penyebab infeksinya adalah bakteri Salmonella thypi atau Salmonella parathytpi. Iya, namanya emang lucu.
            
Bakteri ini bisa hidup sampai beberapa minggu di dalam air, es, sampah, dan debu. Bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi dan bisa mati oleh asam lambung, namun bisa juga berkembang biak di usus halus.
           
Bakteri masuk ke pencernaan dan aliran darah oleh leukosit. Kemudian masuk ke hati, sumsum tulang belakang, limpa dan kembali diedarkan bersama leukosit. Inilah yang menyebabkan pasien demam dan sakit kepala juga sakit perut.

Bakteri yang berkembang biak di saluran empedu atau hati, menuju usus besar dan keluar bersama kotoran. Bakteri ini bisa bertahan sampai beberapa minggu di saluran pembuangan atau faeces yang kering.
            
Anak-anak rentan terkena bakteri Salmonella thypi karena kekebalan tubuh belum kuat. Namun orang dewasa juga berisiko. Biasanya demam selama 5-7 hari, mual dan susah buang air besar.
            
Banyak orang yang mengartikan sakit tifus sebagai gejala tifus. Padahal sebenarnya pasien tersebut sudah terkena tifus namun dalam stadium yang berbeda. Pantas aja Ibu itu masih kuat berobat ke dokter sendirian. Ternyata dia bukan hanya baru terkena gejala tetapi sudah terkena tifus yang belum terlalu berat. Dan penderita bisa tidak menyadari kena tifus padahal dalam jangka panjang mereka bisa menjadi pembawa kuman.
            
Mengapa perlu istirahat total?
            
Banyak pasien yang mengeluh dan menolak ketika disuruh bed rest oleh dokter. Biasanya sih alasannya karena punya pekerjaan yang gak bisa ditinggalkan, apalagi kalau banyak cicilan yang harus dilunasi. Atau bisa juga karena banyak tugas atau punya misi yang belum terselesaikan. Padahal proses penyembuhan terjadi dengan menghilangkan bakteri di dalam tubuh. Karena itu penderita harus istirahat total dan tidak banyak bergerak. Agar demam cepat turun. Karena jika terlalu banyak gerak, suhu badan akan naik dan kuman berkembang biak masuk ke dalam darah.
            
Selain itu pasien juga perlu makanan yang lembut dan minuman yang banyak serat. Karena usus sedang terinfeksi oleh bakteri sehingga keadaannya sedang lemah.
            
Nah, tahu kan sekarang kenapa penderita tifus harus bed rest? Semoga bermanfaat ya. Silakan klik tombol share biar teman-temanmu yang lain juga baca. :D




Dirangkum dari majalan OTC Digest edisi 80.