Kamis, 04 Oktober 2012

Posesif


Sebelum mengenalmu hidupku sudah bahagia. Aku dikelilingi orang-orang yang begitu mengasihiku. Ada cinta setiap hari. Aku bahagia bersama mereka. Bersama keluargaku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, mereka bahagiaku.

Lalu, aku mengenalmu. Kamu laki-laki yang penuh kharisma. Tegas dan dewasa, kamu rupawan dan sangat perhatian. Aku tidak sanggup menolak cintamu saat kamu menawarkan hatimu padaku.
Hidupku semakin lengkap. Aku memiliki keluarga yang begitu penyayang. Sahabat-sahabat yang selalu mengerti, dan kamu kekasih hati yang sangat kucintai.

Aku bahagia, kamu bahagia. Kita pasangan yang serasi katanya. Semua orang kagum melihat kita yang selalu terlihat akur dan mesra. Saat itu, aku berulang kali  meyakinkan diri bahwa kamu memang  orang yang tepat untukku.

Tapi ternyata tidak begitu. Kamu mencintaiku dengan caramu. Kamu terlalu mengaturku ini-itu. Kamu melarangku tidur siang dengan alasan kamu tak mau melewatkan semenitpun waktu bersamaku. Kamu mengatur waktu makan siangku agar kita bisa makan bersama, tak peduli sesibuk apapun aku. Kamu mengatur waktu belajarku agar dimalam hari aku bisa menemanimu berbincang sampai tengah malam bahkan sampai dini hari. Kamu juga membatasi pertemananku dengan teman laki-lakiku. Alasannya kamu cemburu dan takut perasaanku berubah padamu. Bahkan setiap waktu, kamu memantau pertemananku di social media.  Itu didunia maya, didunia nyata aku tak perlu lagi menjelaskannya.

Kadang, aku berpikir konsep memiliki seperti apa yang kamu pahami?

Kamu mengacaukan hidupku. Aku mulai kehilangan waktu berkumpul bersama keluargaku karena waktuku harus dibagi denganmu, denganmu, dan denganmu. Aku mulai kehilangan waktu bersama teman-teman dekatku.  Aku tak sebebas dulu. Padahal sebebas-bebasnya aku, aku tahu diri. Tak mungkin mempermainkan cintamu. Aku tidak merasa bahagia dimiliki. Kamu begitu mengendalikanku.

Kamu bilang, kamu seperti itu karena trauma akibat kisah cinta masa lalumu. Kamu menjadikan traumamu sebagai alasan untuk menguasaiku. Ya, selalu begitu. Kamu memanfaatkan saat itu untuk membuat aku menuruti semua perkataanmu. Kamu menguasaiku. Kamu kasar. Kamu terlalu membatasiku. Kamu sangat posesif padaku.

Aku tidak mau hidup seperti itu. Sampai aku mengatakan padamu, aku lebih baik sendiri daripada dicintai namun disakiti dengan cara dikuasai. Dan alasannyakarena kamu sangat mengasihi. Kamu melakukan semua itu dengan mengatas namakan cinta.

Lalu kamu menangis. Kamu bilang kamu menyesali semuanya. Kamu memohon agar aku tak meninggalkanmu. Aku hanya mengernyitkan dahi, dan berkata “Mengapa harus menungguku pergi baru mengerti?”

Tak kusangka, kamu marah lagi. Kali ini lebih parah dari amarah yang pernah terjadi.

Tak lama setelah kejadian itu, kamu jatuh sakit. Kamu bilang kamu sakit karena terlalu memikirkanku yang begitu melelahkan hatimu. Kamu sampai tak enak makan dan tak enak tidur katamu. Aku pernah bertanya apakah maksudmu berbicara demikian karena kamu menyalahkanku? Namun kamu mengelak tidak. Kamu bilang kamu hanya menginginkan kesadaran dan perhatian dariku.

Dan entah mengapa dalam keadaan sakit saja kamu masih mengancamku dengan berkata “Kamu  masih ingin pergi? Kamu tega membuatku sakit lalu kamu pergi? Itu sama saja dengan kamu menyuruhku mati” katamu waktu itu, dengan nada bicara yang tinggi.

Aku tidak bisa apa-apa. Keluargamu, teman-temanmu, membelamu habis-habisan. Kamu memanfaatkan keadaan tanpa sedikitpun melirik batinku yang menjadi korban.

Jadi, aku tetap bertahan denganmu. Dengan sisa-sisa cinta yang aku miliki. Ya, sisa-sisa cinta yang ada. Karena sejak kamu mulai menguasaiku dan banyak membatasiku, kamu pasti tidak sadar bahwa kamu mengurangi bahagiaku dan aku hampir mati rasa padamu.

***

Hari demi hari berganti. Kamu tak seposesif dulu lagi karena aku sering menangis dan berkata ingin pergi.
Semuanya berubah. Kamu tak lagi meneleponku terus-terusan saat pesanmu telat kujawab. Kamu mulai mengurangi sapaan-sapaan ramahmu saat aku bangun pagi atau dimalam hari. Kamu hampir selalu tidak sempat membalas e-mailku lagi. Alasannya kamu sibuk ini-itu. Dan dalam kesibukan itulah kamu bertemu dengan dia.

Iya, dia. Perempuan yang kutahu sering menjadi tempatmubercerita saat bertengkar denganku. Aku tak bisa melarangmu untuk menjauhinya, karena jika aku melarangmu berteman dengannya (padahal perhatianmu terlihat begitu lebih padanya) aku yakin kamu akan marah dan mungkin membentakku lalu menyalahkanku bahwa cemburuku berlebihan. Aku tidak mau.

Aku tak kuasa membayangkan seburuk apa aku dimata teman perempuanmu itu. Karena aku yakin, setiap kamu bercerita kepadanya kamu pasti bilang bahwa selalu aku sumber masalahnya. Entah bagaimana kamu bercerita, hanya saja aku yakin kamu memutar-mutar fakta. Sama ketika kamu bercerita tentang segelintir kisah masa lalumu dengan kekasihmu yang dulu, selalu mantan kekasihmu yang salah. Diapun begitu buruk dimataku.

Lama-kelamaan, aku mulai kehilangan kepedulianmu, kasih sayangmu, cintamu, juga waktumu. Hubungan kita berubah. Namun meskipun berubah tetap saja tidak normal. Bahkan kali ini lebih parah. Karenastatusnya ada, cintanya tidak. Sedangkan aku masih dibatasi aturan-aturanmu yang tidak wajar itu.
Sakit sekali. Sampai akhirnya aku tidak sanggup lagi dan aku benar-benar pergi.

Aku lelah, aku menyerah. Saat mengatakan itu, kamu marah. Kamu bilang, aku ngeyel dan tidak ingin dipertahankan. Kamu bilang, aku tidak menghargaimu yang telah banyak berkorban. Kamu bilang aku bebal,tidak tahu diri, tidak ingin dikasihi.

Kamu bilang begitu, padahal aku sama sekali tidak berkata kasar padamu.Apa kamu tidak ingat, setiap kamu marah aku hanya diam saja, menunduk dan menangis saja. Kamu membuatku lemah. Aku tidak bisa marah. Disatu sisi aku percaya kamu mencintaiku, disisi lain aku mempertanyakan sikapmu yang katanya mencintaiku tetapi kenyataannya seperti itu. Entahlah.

Aku diam saja. Lagi pula aku banyak bicarapun kamu akan tetap seperti itu. Kamu selalu meyakinkan orang-orang bahwa semua pertengkaran yang terjadi adalah akibat salahku. Tanpa berkaca pada dirimu sendiri bahwa kamu sebenarnya juga tidak selalu benar.

Kini kita benar-benar berpisah. Harusnya tidak ada lagi masalah. Namun yang menyakitkan adalah, ketika ada yang menanyakan mengapa kita bubar kamu mengatakan pada keluargamu, juga pada teman-temanmu, termasuk pada perempuan itu bahwa kita tak lagi bertahan karena aku terlalu sering melakukan kesalahan dan kamu bilang hatimu sudah sangat kelelahan.

Hhhh....

Kamu benar-benar mengacaukan hidupku. Kamu membuat namaku seburuk itu dimata mereka.
Coba kamu tanya aku, ketika ada yang bertanya mengapa kita bubar aku hanya menggeleng saja dan tersenyum pada mereka tanpa berbicara apa-apa. Aku diam saja. Yang menjadi urusan kita, biarlah menjadi urusan kita. Apa untungnya mereka tahu? Jadi aku diam saja.

Aku tidak tahu mengapa kamu seperti itu. Mungkin karena cintamu terlalu besar padaku.Ya, kupikir cintamu terlalu besar sampai aku bahkan tak sanggup menampungnya. Mungkin begitu.

***