Rabu, 27 April 2016

The Lost Boy by Dave Pelzer

Pernah enggak sih kamu merasa hidupmu gak nyaman dan gak menyenangkan? Rasanya hidup kamu tuh, kurang melulu, sedih melulu, sedangkan hidup orang lain kelihatannya serba mudah dan bahagia.

Saya pernah, dan sering merasa seperti itu. Apalagi kalau melihat orang lain bisa dengan mudah mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Rasanya tuh, sebel. Tetapi kalau dicari tahu, ternyata perasaan iri seperti itu muncul dari hati yang dengki dan kurang bersyukur.

Kalau udah begitu, biasanya saya ngaji, cerita dan minta nasihat sama orang yang bisa dipercaya, mendengarkan cerita yang memotivasi, atau membaca. Tentunya membaca buku yang bikin pikiran saya adem, kayak true strory dalam buku ini:


Judul: The Lost Boy
Alih bahasa: Danan Priyatmoko
Tebal: 352 hlm.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kelima: Juni 2003

Untuk saya, buku adalah senjata paling ampuh untuk membunuh sepi. Membaca juga salah satu cara agar otak saya yang segede kacang polong kisut ini tetap bekerja.

Sinopsis:

Seorang anak tak pernah punya rumah. Yang dimilikinya cuma beberapa lembar pakaian usang dan kumal yang dibawanya ke mana-mana di dalam tas kertasnya. Dia selalu hidup dalam keterasingan dan ketakutan. Dia tak tahu apa yang diharapkan dari dirinya dan apa yang bisa dia harapkan dari lingkungannya. Dia sudah berhasil diselamatkan dari cengkeraman ibu kandungnya yang selalu menyiksanya selama bertahun-tahun, tetapi rentetan bahaya yang lebih nyata dan yang harus dihadapinya belum selesai,bahkan baru akan dimulai. 

Dia tak punya tempat yang bisa dirasanya sebagai rumah. Dia mendambakan cinta dalam keluarga.

***

Sebelumnya, saya pernah baca seri pertama buku Dave Pelzer di sini. Kalau yang belum tahu, biar nyambung, silakan baca dulu ya.

Entah sejak kapan saya mulai suka membaca buku serius seperti ini. Mungkin karena semakin tahun saya semakin dewasa, makanya selera buku bacaan saya juga berubah? Iya kayaknya.

Buku ini menceritakan kelanjutan hidup David Pelzer sejak umur 12-18 tahun. Masa setelah dia ke luar dari rumah ibu kandung yang galaknya ngalahin waria dilarang mangkal.

Kalau dibandingkan dengan buku pertamanya untuk saya—The Lost Boy ini  lebih menguras air mata. Apalagi saat David menceritakan kehidupan sekolahnya—saya gak pernah mengalami child abuse, tetapi pernah kesulitan punya teman dan sebagai seseorang yang pernah merasakan hal yang sama, perasaan saya teraduk-aduk sekali saat membacanya.

“...Aku begitu ingin disukai, diterima, oleh semua teman sekelasku, oleh semua murid di sekolah itu—oleh semua orang.” Hlm.34

Setelah ke luar dari rumah orang tuanya, David harus tinggal di penampungan tempat anak-anak kurang beruntung lainnya. Sebagai anak baru gede, yang sedang dalam masa pencarian jati diri, dan kurang kasih sayang, David beberapa kali melakukan kesalahan. Dia mengerjakan sesuatu yang salah hanya untuk “dianggap ada” oleh teman-temannya.

“...Sejak saat itu aku jadi anak yang tidak bisa berdiam diri. Aku berlarian ke segala penjuru rumah, seolah-olah celanaku terbakar. Aku melucu, tertawa, dan berteriak girang, meluapkan perasaan sendirian dan kesepian yang kualami selama bertahun-tahun.” Hlm. 40-41

Dan, puncak kesalahan terbesar David adalah ketika dia dituduh menjadi tersangka pembakaran sekolah. Dia jatuh semakin jauh dalam kehidupan yang tidak menyenangkan, kehilangan kepercayaan, terombang-ambing saat mencari orang tua asuh, ditambah trauma yang belum hilang. Ancaman terburuk bagi dirinya adalah—Mamaknya yang beringas kayak singa betina PMS bisa mengambil hak asuhnya kembali.

“Aku tahu kelakuanku buruk sehingga aku memang pantas dihukum, tetapi aku berjanji—belah dadaku, aku mati kalau tidak memenuhi janjiku—aku akan berkelakuan baik. Betul-betul baik....” Hlm. 204

Kokoro saya pediiih baca kalimat itu. Semua itu terjadi karena David tumbuh sebagai anak yang kurang kasih sayang. Saya jadi paham betapa pentingnya sosok orang tua bagi anak. Kasih sayang orang tua ternyata amat-sangat-penting-sekali buat kelangsungan hidup anak. Buku ini juga menyinggung beberapa peraturan dan hukum soal pengasuhan anak.
Tetapi sayangnya,  gak dijelaskan di sini kenapa Ibu David bisa sakit. Mungkin, akan dijelaskan dalam seri ketiga. Tetapi saya belum nemu bukunya. :(

Dari buku ini saya juga belajar bahwa bahagia itu gak akan tiba-tiba datang, kita mungkin bukan manusia yang terlahir dari keluarga yang sempurna dan memiliki hidup serba menyenangkan, tetapi bukan berarti Tuhan pelit untuk membagi keberuntungan.

“...Sementara anak-anak lain bermain bola di jalanan atau berjalan-jalan di mall, aku menjadi anak yang mampu mencukupi kebutuhanku sendiri.” Hlm. 258

Untukku, kamu, dan siapapun yang selalu merasa hidupnya tidak bahagia, tidak beruntung, serba kekurangan, saat kita menginginkan hidup seperti orang lain, bisa jadi ada orang yang justru menginginkan hidup seperti kita.

Ah, saya baper.


Sabtu, 23 April 2016

Ice Flower

Setiap bepergian, ada buku bacaan yang saya bawa di tas. Dari Senin sampai Minggu, ada jadwal cerita dari para penulis yang saya tunggu untuk di-update. Entah itu cerita-cerita di Wattpad, web penulis favorit bahkan komik di Webtoon. Pokoknya setiap hari saya membaca.

Saya punya list tulisan siapa dan cerita mana yang akan saya baca setiap harinya. Saya punya waktu tersendiri untuk membaca. Misalnya, cerita mana yang akan saya baca di bus, novel mana yang akan saya baca sesudah makan siang, komik mana yang akan saya baca dalam perjalanan pulang, atau tulisan siapa yang akan saya baca sebelum tidur.

Disela-sela tugas dan kegiatan kefarmasian yang menjemukan, membaca adalah salah satu hiburan untuk saya.

Tetapi, yang harus kalian tahu, saya enggak ujug-ujug  kayak begini. Prosesnya panjang sekali, saya gak sekeren Bung Hatta yang sejak kecil sudah  suka membaca. Nanti deh, kapan-kapan saya ceritain gimana awal mulanya saya suka membaca, sampai lebih senang beli buku daripada beli baju.

Yah, seperti yang sudah kalian duga, Lulu masih ngebahas soal buku. Dan ... buku yang akan saya bahas kali ini sangat istimewa, karena penulisnya teman saya sendiri. Sebelumnya saya juga pernah membahas buku karya teman-teman saya, kalau mau baca klik aja di sini, dan di sini.

Mungkin diantara kalian ada yang bosan kenapa saya tiap muncul ngemengin buku melulu. Abis gimana sih ya, saya suka bahas buku yang lagi saya baca. Saya sudah melewati fase menjadikan blog sebagai media curhat dan saya ingin mengisi blog kesayangan saya yang oh-so-sederhana ini dengan konten yang lebih bermanfaat. :’)
***

Pernah berbohong? Pasti semua orang pernah melakukannya, tidak terkecuali aku. Kebohongan yang kulakukan sudah di luar batas kewajaran. Aku membohongi orang tuaku tentang kehidupanku semasa SMA. Aku berbohong tentang kehidupan artis pada teman-temanku di kampus, termasuk pada seluruh dosenku, juga sahabat terdekatku....

Siapa yang tidak pernah berbohong? Saya yakin, Nabi Muhammad enggak pernah ngebohong. Terlahir sebagai manusia yang mulia dan berhati pengasih, mustahil seorang rasul mengucapkan dusta.

Subhanallah ... saya makan apa sih tadi pagi? Kok ngemengnya jadi kayak ustadzah yang ngajar akidah akhlaq di madrasah begini?

Oke, skip.

Buku yang mau saya bahas kali ini adalah buku pertamanya Kak Hyeon Gee *bisa bacanya enggak sih? Gue mah enggak!* Kak Hyeon Gee ini penulis Indonesia yang suka sama korea-koreaan. Saya suka sekali sama orang-orang seperti Kak Hyeon Gee ini, ketika dia menyukai sesuatu, maka dia meraihnya dengan berkarya. Enggak kayak fans Idol Korea biasa yang cuma bisa nyampah di Timeline dan memuja-muja idolanya tetapi gak menghasilkan sesuatu. Meh!

Oh, saya punya contoh lain tentang salah seorang fans EXO yang kesukaan dia terhadap idolanya itu bisa menghasilkan karya. Keren pokoknya!



Judul: Ice Flower
Penulis: Hyeon Gee
Penerbit: Andi Publisher, cetakan satu, 2015
Tebal: 188 halaman

Hyeon So Yun, adalah gadis bersuara indah yang bekerja sebagai guru musik di Studio Brave Media. Dia gadis yang sangat pendiam dan nyaris tidak punya teman. Saking pendiamnya, jika ada seseorang yang bertanya atau mengajaknya bicara—dia hanya akan menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala saja. Tanpa kalimat, atau sepatah kata pun dia ucapkan.

“...Semua kebohongan pasti harus dipertanggungjawabkan....” Hlm. 91.

Di balik parasnya yang cantik, Hyeon So Yun menyembunyikan masa lalunya. Tentu saja, sikapnya yang tertutup ini membuat Song Joong Ki dan Dong Wook harus memutar otak dan berhati-hati untuk memenangkan hatinya.

***

Cerita ini ringan kayak kerupuk. Lumayan buat hiburan, selain kutipan di atas, saya juga menyimpan kalimat-kalimat cantik yang terdapat dalam buku ini. Diantaranya:

1.      “...Manusia bukanlah makhluk yang sempurna, besar kecilnya kesalahan, tergantung pada apa yang sebenarnya kita alami sebelumnya.” Hlm.115

2.      “Berbahagialah dengan segala hal yang ada di depan matamu dan cintailah apapun yang masuk dalam kehidupanmu. Maka kauakan melihat keindahan dunia dan kasih sayang Tuhan yang sebenarnya.” Hlm. 184

Saya suka novel ini, bukan karena penulisnya teman saya, tetapi karena cerita ini memang bagus. Gak sekadar cerita cinta, cerita ini mengisahkan tentang keberanian mengakui kesalahan dan kelapangan hati untuk memaafkan. Selain cerita, font  tulisan  ini besar (hahaha entah mengapa menurut saya font juga jadi bahan pertimbangan) bahan kertasnya juga ringan.

Tetapi ... tak ada gading yang tak retak, secara keseluruhan buku ini bagus. Hanya saja masih ada plot hole, terutama di bab terakhir. Dan jalan cerita yang bikin logic check saya berputar-putar. Hahaha.

Jangan marah ya Kak Hyeon Gee, nanti kalau buku ketiganya terbit saya jangan sampe gak dibagi lagi loh. Hahahahaha.

Buku ini minim typo, penggunaan bahasa Korea dikemas dalam footnote yang rapi. Kelihatan banget kalau si penulis teliti sama naskahnya ;)

Dan ... dari sekian banyak quotes yang saya simpan, saya paling suka quotes ini:

“...jadilah orang yang baik dan jujur.
Jangan sampai melakukan kesalahan yang sulit untuk kau perbaiki....” Hlm. 13



***

Selasa, 19 April 2016

Review Over The Rain

Salah satu nikmat yang saya syukuri dari pertambahan usia adalah genre buku bacaan yang semakin luas. Waktu umur saya masih belasan, kayaknya bacaan saya begitu-begitu melulu. Teenlit lagi teenlit lagi. Selain karena saya merasa belum saatnya membaca buku-buku yang bermuatan dewasa, otak saya pun enggak sanggup untuk mencernanya kalau maksain baca.

Serius deh, tontonan, bacaan, yang kita konsumsi itu harus sesuai sama umur. Waktu SMP saya pernah nonton film horor thiller yang saya tergoda untuk menonton karena orang-orang di sekitar saya  bilang kalau film itu seru.

Jadilah saya nonton (padahal udah jelas itu gak pantas ditonton anak dibawah 14 tahun) dan akhirnya saya nyesel setengah mati nonton filmnya. Karena sepanjang nonton saya disuguhi adegan dan percakapan yang bikin jantung saya kayak mau copot dari rongganya. Saya jadi susah tidur beberapa hari.

Masih waktu SMP, saya juga pernah baca salah satu buku Kakak saya yang bergenre chiklit. Ceritanya tentang pengkhiantan, dan blah blah blah! Setelah baca buku itu saya jadi terus-terusan kepikiran.

Tapi bukan itu sih yang mau saya bahas. Saya mau bahas tentang novel Over The Rain karya Mbak Asri Tahir. Ini termasuk novel dewasa ya, karena ceritanya mengusung tema pernikahan. Dan, sebelum dihujat, saya mau bilang kalau saya udah cukup umur buat baca novel ini.

Soalnya kemarin  ada yang ngira saya masih SMA masa -______-

           




Judul: Over The Rain
Penulis: Asri Tahir
Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Oh ya, ini saya dapat novel ini dari Mbak Dini Virtaliana. Makasih buat hadiahnya ya Mbak Dini~

Novel ini dibagi menjadi dua cerita. Bagian petama adalah Langit Malam, yaitu prequelnya Over The Rain. Jadi yang heran kenapa gambar covernya kebalik, itu bukan salah percetakan, emang novelnya terdiri dari dua bagian.


Mereka mencintai tapi tak ada jalan bersama
Mereka bersama, tapi tidak saling mencintai.
Adalah Bulan yang memimpikan hidup bersama seseorang yang sejak lama dicintainya.
Adalah Bintang yang mengabulkan segala asa demi yang tercinta.
Meski hidup tak selamanya indah, akankah mereka bahagia di jalan yang berbeda?

Sinar Rembulan menjatuhkan hatinya kepada Bintang Lazuardi. Sahabat, sekaligus cinta pertamanya. Lelaki yang memperkenalkan Bulan kepada cinta masa remaja, sekaligus lelaki pertama yang Bulan izinkan untuk memasuki hatinya.

Kamu boleh punya gebetan atau pacar siapa aja.
Tapi nanti nikahnya harus sama aku.”Hlm. 50

Tetapi Bintang juga cinta yang tak sempat Bulan rengkuh. Cintanya terhempas tiba-tiba karena Bintang meninggalkan Bulan sampai enam tahun lamanya.

Tahun demi tahun berlalu siapa sangka kalau ternyata cinta Bulan untuk Bintang belum pupus? Bahkan ketika dia sudah memiliki suami sebaik Fahreza Ibrahim dan anak setampan Bumi pun, Bulan tidak bisa lepas dari cinta masa lalunya yang belum selesai.

Sebuah hubungan yang murni memang berdasarkan cinta,
bukan hanya sebatas sahabat.” Hlm. 50

Setelah lama menghilang, Bintang kembali lagi untuk mendapatkan Bulan-nya. Tak peduli status Bulan yang sudah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Bintang tetap memperjuangkan cintanya.

“Aku siap menjadi nomor dua. Dan aku pastikan ini hanya sementara. Asal kamu menyetujuinya maka langkahku akan lebih mudah.”—Bintang Lazuardi

Novel ini tuh isinya perselingkuhan kelas berat. Ceritanya mengaduk-ngaduk perasaan. Bikin gemas sama kelakuan para tokohnya yang mengatasnamakan cinta sebagai alasan perbuatan mereka.

“Kamu perempuan terdekat yang kumiliki.
Sekaligus yang tidak akan pernah bisa aku jangkau.” Hlm. 55

Di Langit Malam, kamu akan banyak menemukan kilas balik kehidupan Bintang dan Bulan semasa remaja, juga alasan-alasan kenapa Bulan bisa berselingkuh dari suaminya.


“Kadang, cinta bukan hanya urusan cinta dan perasaan tapi melebihi itu semua. Cinta akan terdefinisikan oleh hati dan otak kamu ketika kamu telah jatuh bersamanya.” —Fahreza Ibrahim

Reza—suami Bulan diceritakan sebagai sosok suami yang baik dan ayah yang penyayang. Family man bangetlah. Pokoknya sosok Reza di sini nyaris sempurna. Saya berani taruhan, kalian pasti gemas untuk menghujat Bulan karena dia  menyakiti lelaki yang oh-so-adorable kayak Mas Reza.
                                            
Dalam Over The Rain, ada tokoh perempuan muda bernama Friska. Perempuan yang diam-diam menaruh hati sama Reza. Kalau dibandingkan dengan versi Wattpad, untuk bagian Friska saya suka Friska yang dulu. Soalnya lebih gemesin, dan lebih nyebelin.

Ada banyaaak sekali pesan yang saya ambil dari cerita ini. Salah satunya adalah menuntaskan cinta yang belum kelar! Yaampun, ini bisa jadi parasit kalau masih dibawa-bawa sampai menikah.

Saya kasih tiga dari lima bintang untuk Over The Rain. Keseluruhan cerita ini bagus. Gak cukup sekali rasanya saya baca kisah Bulan, Reza, dan Bintang. Dan tentang buku ini, saya cuma mau bilang ... Reza memang lelaki berhati malaikat tetapi Bintang juga seorang pecinta yang hebat.

Oh, aku fangirl-nya Abang Bintang, kyaaa! 

Kamis, 14 April 2016

My Young Bride: Fate

Cerita ini mengandung unsur dewasa karena terdapat soft and sweet bed scene. If you under 20 y.o. please leave this page. Okay, Kiddo?

Saya sengaja lho, kasih warning 20+ bukan 21+ karena umur saya belum nyampe segitu. Bahkan waktu saya nulis cerita ini, saya juga masih belasan tahun. Kekeke. Tapi, saya udah punya KTP jadi jangan timpuk saya ya. Hahaha.

***

Jam menunjukkan pukul 20.15 ketika Alif baru saja menyelesaikan salat isyanya. Ia mendesah lelah. Seusai membaca dzikir dan masih dalam keadaan mengenakan mukena ia meluruskan kaki di atas sajadah. Memijit sepanjang betisnya yang terasa ngilu. Tulang-tulang tubuhnya terasa remuk sampai ujung kaki.
Alif mendekatkan kepalanya ke tepian kasur. Baru saja matanya terpejam, ia terbangun lagi karena mendengar suara benda keras jatuh menghantam lantai.
PRANG!
Buru-buru Alif membereskan mukenanya dan setengah berlari menuju ke sumber suara.
"Kakak!" serunya. Ia melotot mendapati Rania, si sulung yang baru berumur 7 tahun berdiri di atas kursi kecil di depan kompor gas. Tangannya memegang cangkang telur yang sudah pecah. Di lantai, pecahan telur dan teflon jatuh tak beraturan.
"Kakak mau ngapain sih?" tanyanya sewot. Seharian ini Alif sangat lelah. Rayyan sedang demam, suaminya Sakti yang setia membantu menjaga kedua anaknya sedang dinas ke luar negeri.
"Aku lapar Bun," jawab Rania sambil cemberut. Alif mendekat dan menyuruhnya beranjak dari kursi yang ia pijak. Membereskan bekas kekacauan yang dibuat Rania sambil tak henti-hentinya mengomel.
"Kalau lapar bilang sama Bunda jangan coba-coba masak sendiri! Memangnya kamu bisa? Gimana kalau tangan kamu melepuh kena api? Atau rambut kamu gosong gara-gara kompornya meledak, mau?" sungut Alif tak sabar.
Rania sudah banyak membuat kekacauan hari ini. Tadi pagi Rania sudah membuatnya stres karena susah dibangunkan dan membuatnya ketinggalan mobil jemputan sekolah. Lupa membawa kotak pensil, terus-terusan mengganggu adiknya yang sedang sakit. Dan kalau sedang manja, hanya ucapan Sakti yang mau didengarnya. Mungkin karena ia anak perempuan, mungkin karena Sakti ayahnya.
Dan yang paling membuatnya gemas, saat diminta mengerjakan PR bersama Bik Asih―perempuan setengah baya yang membantu mengurus rumahnya, Rania terang-terangan menolak.
"Bibi kan sekolahnya sampai kelas 1 SD, mana bisa ngerjain PR anak kelas 2?" katanya tadi. Untung saja Bik Asih tidak tersinggung. Mengingat mulut ceplas-ceplos Rania, kadang Alif merasa ia lebih cocok jadi anak Andrea ketimbang anaknya. Mungkin karena saat hamil dulu, ia banyak ditemani oleh kakak iparnya itu.
"Tadi sebelum magrib kan kamu udah makan. Itu perut bukannya pundi-pundi makanan?" lanjut Alif. Ia kesal tapi juga menyesal telah memarahi putrinya hanya karena urusan makan.
Rania tidak menjawab. Titik-titik air sudah menggenang di matanya. Ia menangis sesengukan sampai membangunkan Rayyan. Alif segera berlari menuju kamar jagoan kecilnya. Bukannya ia mengabaikan Rania tapi dalam keadaan yang sedang tidak sehat, Rayyan lebih membutuhkannya.
"Kakak udah dong, jangan nangis. Nanti Bunda bikinin makanan," kata Alif sambil menggendong Rayyan yang masih berumur tiga tahun dalam pelukannya. Ia juga menenangkan Rania yang menangis sambil menunduk di meja makan. Tapi keduanya tak ada yang mau berhenti, seolah berlomba siapa yang menjerit paling kencang.
"Kakak sabar dulu sebentar jangan malah nangis balapan begini, Bunda pusing!"
Lagi-lagi Alif menyalahkan Rania ia mengomel dalam satu tarikan napas. Tepat ketika omelannya behenti terdengar ucapan salam dan derit pintu yang dibuka.
"Assalamualaikum," ketiganya menoleh ke sumber suara.
"Ayah!!!" pekik Rania girang. Ia menghapus bekas air mata yang membuat pipinya basah. Dan berlari menuju pelukan Sakti. Ia bahkan tak memberinya kesempatan untuk meletakkan tas kerja.
"Halo, Sayang." Sakti berjongkok dan menggendong tubuh mungil Rania. Ia mengecup pipi anaknya yang tembam. Tangannya yang satu meraih pinggang Alif yang sedang menggendong Rayyan dan mengecup pelipisnya sekilas.
"Mas, kok gak bilang mau pulang sekarang, katanya besok pagi?"
"Abis aku khawatir sama Rayyan, gimana demamnya udah turun?"
"Gak sepanas tadi sih Mas, udah minum anti piretik sama aku pakein plester kompres demam," kata Alif. Sakti menyentuh kening Rayyan lalu mengecupnya dengan sayang.
"Ayah...." panggil Rania manja.
"Apa sayang? Nakal gak anak nih, anak Ayah?" tanya Sakti sambil menciumi wajah Rania dan membuatnya terkikik geli. "Eh, kamu abis nangis ya?"
Rania mengangguk.
"Aku dimarahin terus sama Bunda, aku ini anak Bunda apa bukan sih? Bunda kok galak banget kayak ibu tiri."
Rania merajuk. Hidungnya kembang kempis menahan tangis saat mengadu pada Sakti.
"Bukan gitu Mas―" Alif hendak menjelaskan tapi ditahan oleh Sakti. Bukan saatnya sekarang Alif melakukan pembelaan. Ia tahu Rania kadang suka kelewat manja. Dan ia mengerti istrinya tidak akan gegabah mengomeli anak mereka tanpa alasan.
"Rania Sayang, Bunda itu ibu kandung kamu. Rania jangan manja, gak boleh rewel biar Bunda gak marahin Rania."
"Tapi Rania kan cuma mau makan, gitu aja Bunda marahin. Terus melototin Rania." Ia mengadu lagi.
Mendengar itu kening Sakti mengerut. Alif mendesah pasrah mendengar Rania mengadukannya. Kerutannya semakin dalam saat melihat lantai yang kotor dan peralatan dapur berceceran.
"Rania lapar?'"
"Iya, Yah..." katanya berlebihan. Ia memeluk perutnya seperti sudah tak diberi makan seminggu.
"Ayah bawa makanan sama oleh-oleh buat kalian."
"Benar, Yah? Asyik!"
Rania memekik girang. Tanpa aba-aba ia meraih paper bag dari lengan Sakti dan langsung membongkar isinya.
***
"Aku juga gak mau marahin Rania, Mas. Tapi tadi tuh dia nyoba-nyoba masak sendiri, biasanya juga dia mau makan minta tolong sama aku." Jelas Alif pada Sakti ketika mereka sedang pillow talk sesudah menidurkan Rania dan Rayyan.
Sakti mengelus rambut Alif dan tersenyum tipis. Tubuhnya lelah setelah perjalanan dari Singapura, dan di rumah ia disuguhi berita semacam ini. Ia berharap bisa melepas penat sambil bermanja pada Alif, tapi kenyataannya ia harus mengalah dan mendengarkan keluh kesah istrinya meski mataya sudah digelayuti kantuk yang semakin berat.
"Rania tadi bilang sama aku, waktu dia mau minta tolong kamunya lagi tidur."
Tidur?
"Alif gak tidur Mas, ketiduran aja tadi sehabis salat."
"Tapi sama-sama merem, kan? Dia gak enak mau bangunin kamu, dia tahu kamu capek seharian jagain Rayyan makanya dia nyoba masak sendiri."
Hati Alif mengembang bahagia mendengar yang dikatakan Sakti. Ia merasa bangga bahwa diumurnya yang masih kecil, Rania sudah berpikir demikian.
"Rania bilang begitu, Mas?"
Sakti tersenyum dan mengangguk. "Iya, dia bilang begitu tadi."
Alif percaya tapi disudut hatinya ia juga ingin mengadukan kerewelan Rania yang lain.
"Tapi Mas seharian ini Rania manja banget. Udah tahu Rayyan sakit, pas aku lagi nyuapin Rayyan, Rania mau disuapin juga. Bi Asih aja gak laku, gak mau disuapin sama Bibi."
Alif terus mengadu dan Sakti menanggapinya dengan tenang. Meski lelah, ia tetap setia menyediakan telinga. Ia sudah janji akan sabar, seperti yang ia katakan dulu ketika memantapkan hati untuk menikahi perempuan yang lebih muda separuh dari usianya.
"Terus ya, pas pulang dari les dia gak mau dijemput sama supir. Dia malah bilang 'emangnya aku anak supir?' gitu katanya Mas, kan kesel."
"Alif... My Sunshine..." mendengar panggilan sayang Sakti untuknya, perlahan kesal yang bergolak di dada Alif mereda. Dua kata ajaib itu seperti segelas air yang menyejukkan dadanya yang gersang. Masih sambil berhadap-hadapan, Sakti mengelus pipinya lembut. Dan berbicara dengan nada yang menenangkan.
"Kamu harus lebih sabar lagi ya sama Rania dan Rayyan." Satu kalimat pendek yang dikatakan Sakti terasa menamparnya. Masa sih aku belum sabar ngadepin mereka? batin Alif. Ia bahkan sudah kehilangan waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Saat sedang emosi, lenyap sudah semua teori tentang mendidik anak yang dipelajarinya. Kalau sedang kesal ingin rasanya ia membungkam bibir rewel Rania dengan selotip, lalu mengikatnya di bawah meja makan.
"Tapi Mas, Rania itu memang nurutnya sama kamu doang. Tadi aja dia main di ruang tamu. Kemarin ngajakin Rayyan corat-coret tembok. Gak mau ngambil minum sendiri, aku stres Mas. Aku―"
"Kalau kamu stres berarti kamu kurang piknik. Kamu biasanya bisa kok jinakin mereka berdua langsung, 24 jam sehari. Sekarang mungkin kamunya kelelahan karena Rayyan sakit. Nanti kalau Rayyan udah sembuh, kita jalan-jalan deh ya."
Alif hendak menjawab, namun bibirnya lebih dulu dibungkam oleh ciuman Sakti.
"Aku capek, kamu juga pasti pengen istirahat. Sekarang kita tidur ya, good night, sleep tight My Sunshine."
Dalam lingkar lengan kokoh Sakti, Alif memposisikan dirinya senyaman mungkin. Memejamkan matanya perlahan dan menyusul tidur.
***
"Bun rambut aku diiketin dulu dong!" pinta Rania saat melihat Alif sedang mengganti pakaian Rayyan.
"Sebentar ya Kak,"
"Cepetan dong."
"Iya, Kakak sabar dulu ya." Kata Alif. Lebih berkata seperti itu untuk dirinya sendiri sebenarnya. Ia yang harus menebalkan kesabarannya seperti yang dikatakan Sakti semalam.
Rania cemberut dan menghentak-hentakkan kakinya. Ia cemburu pada Rayyan, ia merasa adiknya itu telah merenggut semua kasih sayang kedua orang tuanya. Sampai kemudian Sakti menghamipiri kedua perempuan yang sedang ribut itu.
"Ada apa?" tanyanya. Ia mendekati Alif.
"Rania belum diikat rambutnya Mas, aku minta dia nunggu dulu." Jawab Alif. Tapi Sakti tak memerhatikan itu, konsentrasinya pecah mencium bau tidak sedap dari tangan Alif.
"Lif kamu bukan mau ngegoreng anak kita, kan?" kata Sakti saat ia menyadari bahwa perut Rayyan diolesi bawang merah.
"Bukan Mas, ini Rayyan kayak begini biar anginnya keluar."
"Ya ampun, kenapa gak dibawa ke dokter aja sih?" kata Sakti. "Udah sekarang kamu urus dulu Rania, Rayyan kita bawa ke dokter lagi."
Alif merengut. Seperti itu cara yang dilakukan almarhum abahnya dulu setiap Alif masuk angin saat masih kecil. Meski Alif tahu Sakti tidak menyalahkan tindakannya ia sadar perintah Sakti sudah tidak bisa dibantah.
***
"Tuh Mas, gak apa-apa kan aku kasih bawang. Itu cara tradisional, dokternya bilang juga boleh." Kata Alif ketika mereka baru saja ke luar dari ruangan dokter anak.
"Iya, iya." Sakti mengiyakan ucapan Alif. Ia tak mendebat atau memperpanjang pembahasan bawang merah itu hanya karena kekhawatirannya. Untung saja sekarang hari Sabtu sehingga Sakti tidak kerja dan bisa mengantar Alif membawa Rayyan ke dokter.
Mereka berjalan berdampingan menuju apotek. Rayyan dalam gendongan Alif dan Rania berjalan sambil memegang tangan Sakti.
Rania anteng sekali bersama ayahnya. Ia tidak rewel atau meminta yang aneh-aneh. Ia berceloteh ria dan bertanya ini-itu pada Sakti.
"Ayah, dokter itu tukang suntik ya? Suster kenapa pakaiannya putih-putih sih? Jadi dokter enak gak, Yah? Rania mau jadi dokter aja ah. Eh, tapi Rania ngeri sama suntikan. Kenek angkot uangnya banyak ya, Yah? Rania mau jadi pembantu aja deh kayak Bi Asih, soalnya kata Bunda Bi Asih itu rajin."
Sakti tersenyum dan menanggapi satu per satu celotehan Rania dengan sabar. Ia menjawab setiap pertanyaan anaknya dengan bijak dan tepat.
Sampai di apotek, Alif dan Rayyan menunggu di kursi yang disediakan. Sedangkan Rania tak melepaskan sedetik pun genggaman tangannya dari sang ayah. Sakti tersenyum ramah sambil menyerahkan resep pada seorang perempuan berjas putih. Alif sudah dewasa, sedikit pun ia tidak cemburu karena Sakti memberikan senyum mautnya pada apoteker. Ia tahu itu suatu keramahan yang wajar. Ia tak akan mempersulit hatinya dengan hal-hal remeh. Untuk apa? Lagipula ia memiliki senyum Sakti dan bisa menikmatinya setiap waktu.
Meski saat jalan bersama seperti ini kadang ada saja yang menatapnya dengan aneh. Setampan apapun rupa suaminya, perbedaan umur Alif dan Sakti memang sangat ketara. Sekali pun penampilan mereka high class, tetap saja kadang ada yang menatap Alif dengan pandangan menilai. Seolah Alif adalah perempuan yang menikah muda karena dipaksa oleh gadun kaya raya.
Tapi Alif tak peduli. Menikah diumur 18 tahun, menjadi ibu sebelum berumur 20 tahun―baginya adalah takdir yang telah diberikan Allah dengan baik.
"Obatnya masih sama kayak yang kemarin, Mas?" tanya Alif sepulang dari apotek.
"Iya, kalau Rayyan gak muntah-muntah lagi, dia pasti cepat sembuh." Kata Sakti.
Alif mengangguk mengerti. Seberat apapun tanggung jawab yang ia emban sebagai seorang ibu semuanya tak terasa sulit jika bersama Sakti. Ia sama sekali tak menyesal―ketika perempuan lain seusianya masih sibuk menyelesaikan kuliah atau melanjutkan S2, Alif mengabdikan diri sebagai ibu dan istri. Kehilangan jatah bergaul dengan perempuan seusianya untuk mengurus anak. Sepaket repot dan bahagia dirasakannya. Beratnya mengandung, sakitnya melahirkan, repotnya bangun tengah malam untuk menyusui adalah anugerah yang hanya bisa dirasakan seorang ibu. Dan Alif mensyukuri itu. Meski lelah, ia menikmati dan berjanji tidak akan berkeluh kesah lagi.
Tepat ketika mereka sampai di pelataran parkir, jantung Alif berdebar hebat. Retina matanya menangkap objek sosok seorang wanita yang tak ingin dilihatnya berdiri di depan mereka.
Meski sudah lama tak melihatnya, ia masih hapal bentuk wajah wanita itu. Sejak dulu tak banyak berubah. Masih cantik dan sepertinya tidak menua. Apa aku baru saja memuji orang yang sudah menghancurkan rumah tanggaku? Tanya hatinya.
Deidre berjalan mendekat. Alif berusaha mengontrol emosi agar tak meledak dan mempermalukan Sakti.
"Sakti? Alif?" Deidre menyapa lebih dulu. Ada binar keraguan saat ia menyebut nama dua orang itu. Namun dengan posisi seperti ini ia tak mungkin berpua-pura bodoh untuk tak melihat mereka.
Alif memerhatikan Sakti menatap Deidre dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. Ia tersenyum tipis pada sapaan Deidre.
"Kebetulan ketemu di sini," katanya basa-basi. "Siapa yang sakit?"
Alif membiarkan Sakti menjawab pertanyaan Deidre. Ia menyibukkan diri dengan mengusap kening Rayyan yang berkeringat dingin. Jauh dalam lubuk hatinya Alif memaafkan Deidre karena apa yang telah wanita itu lakukan―ternyata justru membuatnya semakin yakin bahwa Sakti mencintainya begitu besar. Dan dengan gertakan yang pernah dilakukan Deidre, ia juga jadi bisa mengakui perasaannya terhadap Sakti.
Tapi Alif juga manusia biasa. Ia wanita tulen, yang memiliki segudang rasa cemburu dan penuh rasa penasaran. Di sudut hatinya yang lain, ia kesal karena bagaimana pun Deidre yang pernah menimbulkan kesalahpahaman terhadap Sakti sampai mereka terpisah jauh untuk beberapa lama.
"Si bungsu yang sakit," jawab Sakti singkat. Alif mendengus lega mendengar itu. Artinya suaminya memang tak ingin terlibat dalam obrolan panjang dengan mantan istrinya.
"Kalau kamu?" tanya Sakti yang membuat Alif mengangkat wajah dan melihat suaminya. Ia sudah tak menemukan raut dingin atau datar pada wajah Sakti. Keduanya terlihat akrab, dan dengan keseuaian umur mereka terlihat pantas sebagai suami istri.
"Mas...." Alif menyentuh lengan Sakti mengisyaratkannya agar segera pulang.
Sakti pun pamitan kepada Deidre. Di luar dugaan, Deidre juga menyapa Rania dan Rayyan yang ada dalam pangkuan Alif. Ia bersikap seolah tak pernah ada hubungan yang retak diantara mereka.
"Kami pulang ya Deidre." Kata Sakti.
"Cepat sembuh ya untuk anak kalian," jawabnya.
Alif mengangguk dan tersenyum pada prempuan itu demi menghormati suaminya. Deidre mengerti ia tak mungkin bicara banyak pada Alif dan Sakti. Meski sebenarnya dalam hati ada banyak maaf yang ingin ia ungkapkan.
***
"Ayah, Tante yang tadi itu siapa sih? Dia kok cantik banget kayak artis!" celetuk Rania saat mereka dalam perjalanan pulang. Sakti berdeham membersihkan kerongkongannya yang mendadak kering. Ia melirik Alif sekilas, bibir istrinya maju beberapa senti mendengar pujian polos dari Rania.
"Eh-hem, Tante yang tadi itu teman lama Ayah," jawab Sakti. Ia berdoa dalam hati agar Rania tak bertanya lagi tentang Deidre.
"Teman lama? Teman sekolah?"
Sakti tidak menjawab. Ia tak ingin berbohong dan memilih diam.
"Waktu kucium tangannya pas salam tadi, Tante itu wangi banget. Gak kayak tangan Bunda. Bunda tangannya suka berminyak!" lanjut Rania polos.
"Kakak!" Alif berusaha menekan emosinya. "Kamu jangan ngoceh terus nanti adik bangun," ujar Alif. Itu tidak sepenuhnya benar, meski berisik ia senang mendengar Rania yang bertanya serba ingin tahu. Tapi hatinya juga tercubit mendengar kepolosan anaknya yang memuji Deidre.
Seandainya kamu tahu, Nak. Batinnya. Alif merutuk. Duh, Lif kenapa harus cemburu sih? Memangnya kamu mau dimusuhin Nabi Muhammad di padang Mahsyar gara-gara cemburumu bikin suamimu memutuskan tali silaturahimnya?
Alif menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mengusir segala pikiran dan perasaan yang mengacaukan hatinya.
"Kenapa Sayang? Pusing?" tanya Sakti perhatian.
"Eh, eng-enggak kok Mas," jawabnya gagap.
"Yakin gak kenapa-napa nih? Kamu daritadi diam terus."
Alif mengangguk meyakinkan Sakti bahwa dirinya baik-baik saja.
Sakti menyunggingkan senyum. Ia memahami Alif sepeti ia paham dirinya sendiri. Meski bibirnya berkata tidak, tapi hatinya tidak demikian. Sekarang Alif memang sudah jarang merajuk dan menunjukkan kecemburuan. Anehnya justru ia yang sering cemburu. Apalagi melihat Alif yang seperti tidak pernah bosan pada artis favoritnya; Choi Siwon.
Kadang Sakti merasa bodoh jika mengingat hal ini. Karena ia cemburu pada lelaki yang sudah pasti tidak akan merenggut Alif darinya. Tapi begitulah cinta, banyak rasa.
***
"Alif ayo dong, masa kamu gak kasihan sih sama aku?" bujuk Sakti pada Alif yang terus membelakanginya. Well, this is a Saturday night. Waktunya pacaran. Tapi mereka bukan pasangan yang masih bebas jalan-jalan ke luar atau makan malam romantis di restoran. Mereka adalah sepasang orang tua dengan dua orang anak. Sakti dan Alif sudah tak sebebas dulu untuk bepergian ke luar rumah meski masih melakukanya sesekali.
"Enggak ah, Mas. Alif lagi subur nih."
"Ya gak apa-apa dong Lif, mana tahu kamu hamil lagi kan?" kekehnya sambil memeluk pinggang Alif dan mengecup telinganya.
Alif menepis.
"Mas Sakti enteng bilang begitu, aku bukannya gak seneng hamil ya Mas, tapi aduh ... Rania aja rewelnya minta ampun, Rayyan juga lagi aktif-aktifnya. Kalau punya anak lagi aku gak sanggup deh. Program pemerintah juga kan, dua anak cukup."
Alif berbalik dan mengacungkan dua jari yang langsung diraih Sakti dan dikecupnya.
"Salah sendiri kenapa gak nyetok." Begitu kata Alif. Di luar sana hujan turun mengguyur lebat. Sulit bagi Sakti untuk ke luar. Ia tak menyangka bahwa sekotak kondom bisa menjadi barang yang begitu berharga disaat-saat genting seperti ini.
"Lagian ya, Alif sebel sama Mas Sakti!" sungutnya. Ia tak peduli meski saat ini terlihat kekanakan.
"Aku salah apa, My Sunshine?" Sakti menggoda dengan suara yang terdengar menggelitik dan seksi.
Alif menghela napas panjang. Bibirnya mengerucut, antara kesal dan malu pada godaan Sakti.
"Mas Sakti kenapa sih kelihatannya akrab banget sama si Diare itu?"
"Diare?"
"Iyaaa... your ex-wife!"
"Oh...Deidre? Diare mah mencret-mencret. Kenapa? Alif cemburu?"
Alif menggembungkan pipinya yang membuatnya semakin terlihat menggemaskan.
"Sayang, aku tahu kamu kesal. Kalau ingat itu pun aku kesal, marah, jijik sama dia. Tapi kan gak baik menyimpan dendam sama orang. Aku gak mau punya penyakit hati."
Mata Alif mengerjap lucu.
"Lagi pula aku harus gimana gitu kalau lihat dia? Bentak-bentak? Marah begitu? Deidre memang pernah jahat wajar kalau kamu benci dia. Tapi seandainya kamu mengerti, Lif karena masalah yang dibuat Deidre kita jadi sedekat ini sekarang. Mungkin memang begitu cara Allah menyatukan kita. Tanpa masalah itu mungkin kamu masih gitu-gitu aja sama aku. Malu-malu."
Sakti mengerling.
"Gak baik Sayang, nyimpen benci kayak begitu. Kamu tidak perlu mencemaskan apapun, sebab hatiku sudah terpaut dengan hatimu. Dia masa laluku dan dia tidak seberarti kamu."
Sakti tahu ini cheesy, tapi ia sungguh-sungguh berkata jujur. Alif adalah penyembuh luka hatinya. Ia yang menyempurnakan hidupnya sebagai lelaki, setelah melahirkan Rania dan Rayyan Alif memberinya kesempatan untuk menjadi orang yang selalu ingin ia perankan.
Sedangkan Deidre hanyalah masa lalunya. Orang yang pernah penting dan pernah hidup dalam hatinya. Tak masalah bagi Sakti, jika persoalan tentang Deidre sewaktu-waktu naik ke permukaan―ia masih harus mengulang kalimat penjelasan. Sedikit pun ia tidak menilai ini sebagai ketidaksetiaan Alif pada dirinya. Ia justru menganggap ini adalah momen yang tepat untuk mengungkapkan cinta.
"Aku cinta kamu, My Sunshine."
Sakti mengelus pipi Alif menatap jauh ke dalam mata istrinya. Ada banyak binar cinta di sana.
"Aku lebih cinta kamu, Mas," balas alif.
"Aku yang paling cinta kamu."
Alif tersenyum. Ia mengelus kening Sakti yang dihiasi kerutan halus. Elusannya lalu naik ke rambut yang mulai ditumbuhi uban. Tapi tetap saja bagi Alif, Sakti terlalu tampan untuk lelaki berumur 43 tahun. Sakti meraih jemari Alif yang memainkan rambutnya dan meremasnya pelan.
"Kamu tahu Lif, aku bahagia menua bersamamu."
Mendengar itu sebuah seringai khas Alif tercetak di bibirnya. Sakti merubah posisi mereka dengan menunduk di atas istrinya. Kedua lengannya mengurung Alif di kanan dan kiri. Sakti mengecup keningnya dengan sayang, lalu kedua kelopak matanya bergantian. Mengecup pipinya penuh perhatian, dan berakhir dengan ciuman di bibir.

Hanya bersama Alif, Sakti seperti ini. Debar jantungnya tak beraturan dan itu hanya bisa ia rasakan setiap Alif menyentuhnya dan disentuhnya.
Ketika bibir mereka masih memagut mesra, terdengar suara pintu menjeblak terbuka.
"Ayah! Bunda! lagi ngapain? Adik nangis terus aku jadi gak bisa tidur!" seru Rania sambil mengucek kedua matanya.
***

Siapa Alif? Siapa Sakti? Kenapa perempuan muda seperti Alif punya suami yang  udah ubanan? Ada apa antara sakti dengan Deidre? (Btw, beda usia Sakti sama Alif itu delapan belas tahun ya~)
Kamu akan menemukan jawabannya dalam buku ini:


Judul: My Young Bride
Penulis: Aliana Deen
Penerbit: LovRinz Publishing 
Sinopsis:

Katanya, cemburu adalah bukti adanya cinta. Tapi tidak setiap pelaku cinta mampu membingkai rasa cemburu di hatinya menjadi potret cinta yang indah.

Sakti, seorang pria mapan yang telah menduda dan tak percaya lagi sebuah pernikahan dipertemukan dengan Alif, gadis muda belia yang enerjik dan bercita-cita tinggi. Sakti terbuai dengan kecerdasan  gadis yang tak lain adalah putri dari bawahannya.

Sebuah takdir mengikat mereka menjadi sepasang suami-istri. Alif harus rela menerima Sakti saat ia kehilangan. Sementara Sakti yang terlanjur mencintai Alif, harus  menahan gejolak gairah cinta sampai Alif benar-benar mencintainya.

Tanpa Alif duga, benih cemburu itu tumbuh subur dalam hatinya. Apakah ia benar-benar telah ikhlas? Ataukan semata karena keterpaksaan atas takdir yang mengikatnya?

***

Saya jamin deh, novel ini akan bikin kamu tertawa terpingkal-pingkal juga berderai air mata. Adegan-adegannya yang romantis bahkan mungkin bisa bikin kamu diabetes saking manisnya. Saya aja belum bisa move on  dari Mas Sakti yang oh-so-adorable ini. Sudah tampan, pintar, penyayang, abdi negara ... istilahnya buat Mas Sakti tuh, bukan duda keren tetapi duda cemerlang! Sebab dia lebih dari sekadar keren. *fangirl mode on*

Kisah ini gak hanya menceritakan cinta antara dua orang yang terpaut umur begitu jauh. Lebih dari itu, kamu juga akan diajak memahami tentang harapan, ketulusan, dan rasa percaya.

Percaya pada Tuhan, bahwa Dia tidak akan membiarkan orang-orang berhati baik hidup sendirian. Percaya pada cinta, karena cinta bisa membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin, selama ketulusan ada di dalamnya. Yang tidak pernah kamu bayangkan pun bisa saja terjadi.

Satu yang pasti, Tuhan mendengar apa yang kamu minta dan tahu apa yang kamu butuhkan.

Fanfiction ini diikutsertakan dalam giveaway yang diadakan oleh Mbak Dini Virtaliana. Sudah pernah saya pos di lapak saya yang satu, dan naskah ini menang. Saya jadi juara satu. Huhuhu terharu. Entah sudah berapa kali saya ikut giveaway, baru sekali ini menang. Saya emang gak hoki kalau ikutan giveaway yang diundi. Untung ini gak diundi, tetapi dinilai langsung sama penulisnya.

By the way, itu link hidup ya kalian bisa kontak langsung penerbit untuk mendapatkan bukunya. Dan ... setelah ini, saya akan REVIEW NOVEL OVER THE RAIN KARYA MBAK ASRI TAHIR! 

Oh, saya gak bisa santai kalau udah ngomongin novel ini. Kyaaaa, Bang Bintaaang!!!

Maklumlah ... saya kan cewek tulen yang demen sama cerita romance.  Jadi yang ngatain saya suka baca komik Yaoi, itu FITNAH! Saya gak baca komik Yaoi sebab gak tahu di mana mau ngumpetinnya.  Nanti saya dikutuk jadi kanebo sama Allah :D  
***