Cerita ini mengandung unsur dewasa
karena terdapat soft and sweet bed scene.
If you under 20 y.o. please leave this page. Okay, Kiddo?
Saya sengaja lho, kasih warning 20+
bukan 21+ karena umur saya belum nyampe segitu. Bahkan waktu saya nulis cerita
ini, saya juga masih belasan tahun. Kekeke. Tapi, saya udah punya KTP jadi
jangan timpuk saya ya. Hahaha.
***
Jam menunjukkan pukul 20.15
ketika Alif baru saja menyelesaikan salat isyanya. Ia mendesah lelah. Seusai
membaca dzikir dan masih dalam keadaan mengenakan mukena ia meluruskan kaki di
atas sajadah. Memijit sepanjang betisnya yang terasa ngilu. Tulang-tulang
tubuhnya terasa remuk sampai ujung kaki.
Alif mendekatkan kepalanya
ke tepian kasur. Baru saja matanya terpejam, ia terbangun lagi karena mendengar
suara benda keras jatuh menghantam lantai.
PRANG!
Buru-buru Alif membereskan
mukenanya dan setengah berlari menuju ke sumber suara.
"Kakak!" serunya.
Ia melotot mendapati Rania, si sulung yang baru berumur 7 tahun berdiri di atas
kursi kecil di depan kompor gas. Tangannya memegang cangkang telur yang sudah
pecah. Di lantai, pecahan telur dan teflon jatuh tak beraturan.
"Kakak mau ngapain
sih?" tanyanya sewot. Seharian ini Alif sangat lelah. Rayyan sedang demam,
suaminya Sakti yang setia membantu menjaga kedua anaknya sedang dinas ke luar
negeri.
"Aku lapar Bun,"
jawab Rania sambil cemberut. Alif mendekat dan menyuruhnya beranjak dari kursi
yang ia pijak. Membereskan bekas kekacauan yang dibuat Rania sambil tak
henti-hentinya mengomel.
"Kalau lapar bilang
sama Bunda jangan coba-coba masak sendiri! Memangnya kamu bisa? Gimana kalau
tangan kamu melepuh kena api? Atau rambut kamu gosong gara-gara kompornya
meledak, mau?" sungut Alif tak sabar.
Rania sudah banyak membuat
kekacauan hari ini. Tadi pagi Rania sudah membuatnya stres karena susah
dibangunkan dan membuatnya ketinggalan mobil jemputan sekolah. Lupa membawa
kotak pensil, terus-terusan mengganggu adiknya yang sedang sakit. Dan kalau
sedang manja, hanya ucapan Sakti yang mau didengarnya. Mungkin karena ia anak
perempuan, mungkin karena Sakti ayahnya.
Dan yang paling membuatnya
gemas, saat diminta mengerjakan PR bersama Bik Asih―perempuan setengah baya
yang membantu mengurus rumahnya, Rania terang-terangan menolak.
"Bibi kan sekolahnya
sampai kelas 1 SD, mana bisa ngerjain PR anak kelas 2?" katanya tadi. Untung
saja Bik Asih tidak tersinggung. Mengingat mulut ceplas-ceplos Rania, kadang
Alif merasa ia lebih cocok jadi anak Andrea ketimbang anaknya. Mungkin karena
saat hamil dulu, ia banyak ditemani oleh kakak iparnya itu.
"Tadi sebelum magrib
kan kamu udah makan. Itu perut bukannya pundi-pundi makanan?" lanjut Alif.
Ia kesal tapi juga menyesal telah memarahi putrinya hanya karena urusan makan.
Rania tidak menjawab.
Titik-titik air sudah menggenang di matanya. Ia menangis sesengukan sampai
membangunkan Rayyan. Alif segera berlari menuju kamar jagoan kecilnya. Bukannya
ia mengabaikan Rania tapi dalam keadaan yang sedang tidak sehat, Rayyan lebih
membutuhkannya.
"Kakak udah dong,
jangan nangis. Nanti Bunda bikinin makanan," kata Alif sambil menggendong
Rayyan yang masih berumur tiga tahun dalam pelukannya. Ia juga menenangkan
Rania yang menangis sambil menunduk di meja makan. Tapi keduanya tak ada yang
mau berhenti, seolah berlomba siapa yang menjerit paling kencang.
"Kakak sabar dulu
sebentar jangan malah nangis balapan begini, Bunda pusing!"
Lagi-lagi Alif menyalahkan
Rania ia mengomel dalam satu tarikan napas. Tepat ketika omelannya behenti
terdengar ucapan salam dan derit pintu yang dibuka.
"Assalamualaikum,"
ketiganya menoleh ke sumber suara.
"Ayah!!!" pekik
Rania girang. Ia menghapus bekas air mata yang membuat pipinya basah. Dan
berlari menuju pelukan Sakti. Ia bahkan tak memberinya kesempatan untuk
meletakkan tas kerja.
"Halo, Sayang."
Sakti berjongkok dan menggendong tubuh mungil Rania. Ia mengecup pipi anaknya
yang tembam. Tangannya yang satu meraih pinggang Alif yang sedang menggendong
Rayyan dan mengecup pelipisnya sekilas.
"Mas, kok gak bilang
mau pulang sekarang, katanya besok pagi?"
"Abis aku khawatir
sama Rayyan, gimana demamnya udah turun?"
"Gak sepanas tadi sih
Mas, udah minum anti piretik sama aku pakein plester kompres demam," kata
Alif. Sakti menyentuh kening Rayyan lalu mengecupnya dengan sayang.
"Ayah...."
panggil Rania manja.
"Apa sayang? Nakal gak
anak nih, anak Ayah?" tanya Sakti sambil menciumi wajah Rania dan
membuatnya terkikik geli. "Eh, kamu abis nangis ya?"
Rania mengangguk.
"Aku dimarahin terus
sama Bunda, aku ini anak Bunda apa bukan sih? Bunda kok galak banget kayak ibu
tiri."
Rania merajuk. Hidungnya
kembang kempis menahan tangis saat mengadu pada Sakti.
"Bukan gitu Mas―"
Alif hendak menjelaskan tapi ditahan oleh Sakti. Bukan saatnya sekarang Alif
melakukan pembelaan. Ia tahu Rania kadang suka kelewat manja. Dan ia mengerti
istrinya tidak akan gegabah mengomeli anak mereka tanpa alasan.
"Rania Sayang, Bunda
itu ibu kandung kamu. Rania jangan manja, gak boleh rewel biar Bunda gak
marahin Rania."
"Tapi Rania kan cuma
mau makan, gitu aja Bunda marahin. Terus melototin Rania." Ia mengadu
lagi.
Mendengar itu kening Sakti
mengerut. Alif mendesah pasrah mendengar Rania mengadukannya. Kerutannya
semakin dalam saat melihat lantai yang kotor dan peralatan dapur berceceran.
"Rania lapar?'"
"Iya, Yah..."
katanya berlebihan. Ia memeluk perutnya seperti sudah tak diberi makan
seminggu.
"Ayah bawa makanan
sama oleh-oleh buat kalian."
"Benar, Yah?
Asyik!"
Rania memekik girang. Tanpa
aba-aba ia meraih paper bag dari
lengan Sakti dan langsung membongkar isinya.
***
"Aku juga gak mau
marahin Rania, Mas. Tapi tadi tuh dia nyoba-nyoba masak sendiri, biasanya juga
dia mau makan minta tolong sama aku." Jelas Alif pada Sakti ketika mereka
sedang pillow
talk sesudah menidurkan Rania
dan Rayyan.
Sakti mengelus rambut Alif
dan tersenyum tipis. Tubuhnya lelah setelah perjalanan dari Singapura, dan di
rumah ia disuguhi berita semacam ini. Ia berharap bisa melepas penat sambil
bermanja pada Alif, tapi kenyataannya ia harus mengalah dan mendengarkan keluh
kesah istrinya meski mataya sudah digelayuti kantuk yang semakin berat.
"Rania tadi bilang
sama aku, waktu dia mau minta tolong kamunya lagi tidur."
Tidur?
"Alif gak tidur Mas,
ketiduran aja tadi sehabis salat."
"Tapi sama-sama merem,
kan? Dia gak enak mau bangunin kamu, dia tahu kamu capek seharian jagain Rayyan
makanya dia nyoba masak sendiri."
Hati Alif mengembang
bahagia mendengar yang dikatakan Sakti. Ia merasa bangga bahwa diumurnya yang
masih kecil, Rania sudah berpikir demikian.
"Rania bilang begitu,
Mas?"
Sakti tersenyum dan
mengangguk. "Iya, dia bilang begitu tadi."
Alif percaya tapi disudut
hatinya ia juga ingin mengadukan kerewelan Rania yang lain.
"Tapi Mas seharian ini
Rania manja banget. Udah tahu Rayyan sakit, pas aku lagi nyuapin Rayyan, Rania
mau disuapin juga. Bi Asih aja gak laku, gak mau disuapin sama Bibi."
Alif terus mengadu dan
Sakti menanggapinya dengan tenang. Meski lelah, ia tetap setia menyediakan
telinga. Ia sudah janji akan sabar, seperti yang ia katakan dulu ketika
memantapkan hati untuk menikahi perempuan yang lebih muda separuh dari usianya.
"Terus ya, pas pulang
dari les dia gak mau dijemput sama supir. Dia malah bilang 'emangnya aku anak
supir?' gitu katanya Mas, kan kesel."
"Alif... My
Sunshine..." mendengar panggilan sayang Sakti untuknya, perlahan kesal
yang bergolak di dada Alif mereda. Dua kata ajaib itu seperti segelas air yang
menyejukkan dadanya yang gersang. Masih sambil berhadap-hadapan, Sakti mengelus
pipinya lembut. Dan berbicara dengan nada yang menenangkan.
"Kamu harus lebih
sabar lagi ya sama Rania dan Rayyan." Satu kalimat pendek yang dikatakan
Sakti terasa menamparnya. Masa sih aku
belum sabar ngadepin mereka? batin
Alif. Ia bahkan sudah kehilangan waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Saat
sedang emosi, lenyap sudah semua teori tentang mendidik anak yang
dipelajarinya. Kalau sedang kesal ingin rasanya ia membungkam bibir rewel Rania
dengan selotip, lalu mengikatnya di bawah meja makan.
"Tapi Mas, Rania itu
memang nurutnya sama kamu doang. Tadi aja dia main di ruang tamu. Kemarin
ngajakin Rayyan corat-coret tembok. Gak mau ngambil minum sendiri, aku stres
Mas. Aku―"
"Kalau kamu stres
berarti kamu kurang piknik. Kamu biasanya bisa kok jinakin mereka berdua
langsung, 24 jam sehari. Sekarang mungkin kamunya kelelahan karena Rayyan
sakit. Nanti kalau Rayyan udah sembuh, kita jalan-jalan deh ya."
Alif hendak menjawab, namun
bibirnya lebih dulu dibungkam oleh ciuman Sakti.
"Aku capek, kamu juga
pasti pengen istirahat. Sekarang kita tidur ya, good
night, sleep tight My Sunshine."
Dalam lingkar lengan kokoh
Sakti, Alif memposisikan dirinya senyaman mungkin. Memejamkan matanya perlahan
dan menyusul tidur.
***
"Bun rambut aku
diiketin dulu dong!" pinta Rania saat melihat Alif sedang mengganti
pakaian Rayyan.
"Sebentar ya
Kak,"
"Cepetan dong."
"Iya, Kakak sabar dulu
ya." Kata Alif. Lebih berkata seperti itu untuk dirinya sendiri
sebenarnya. Ia yang harus menebalkan kesabarannya seperti yang dikatakan Sakti
semalam.
Rania cemberut dan
menghentak-hentakkan kakinya. Ia cemburu pada Rayyan, ia merasa adiknya itu
telah merenggut semua kasih sayang kedua orang tuanya. Sampai kemudian Sakti
menghamipiri kedua perempuan yang sedang ribut itu.
"Ada apa?"
tanyanya. Ia mendekati Alif.
"Rania belum diikat
rambutnya Mas, aku minta dia nunggu dulu." Jawab Alif. Tapi Sakti tak
memerhatikan itu, konsentrasinya pecah mencium bau tidak sedap dari tangan
Alif.
"Lif kamu bukan mau
ngegoreng anak kita, kan?" kata Sakti saat ia menyadari bahwa perut Rayyan
diolesi bawang merah.
"Bukan Mas, ini Rayyan
kayak begini biar anginnya keluar."
"Ya ampun, kenapa gak
dibawa ke dokter aja sih?" kata Sakti. "Udah sekarang kamu urus dulu
Rania, Rayyan kita bawa ke dokter lagi."
Alif merengut. Seperti itu
cara yang dilakukan almarhum abahnya dulu setiap Alif masuk angin saat masih
kecil. Meski Alif tahu Sakti tidak menyalahkan tindakannya ia sadar perintah
Sakti sudah tidak bisa dibantah.
***
"Tuh Mas, gak apa-apa
kan aku kasih bawang. Itu cara tradisional, dokternya bilang juga boleh."
Kata Alif ketika mereka baru saja ke luar dari ruangan dokter anak.
"Iya, iya." Sakti
mengiyakan ucapan Alif. Ia tak mendebat atau memperpanjang pembahasan bawang
merah itu hanya karena kekhawatirannya. Untung saja sekarang hari Sabtu
sehingga Sakti tidak kerja dan bisa mengantar Alif membawa Rayyan ke dokter.
Mereka berjalan
berdampingan menuju apotek. Rayyan dalam gendongan Alif dan Rania berjalan
sambil memegang tangan Sakti.
Rania anteng sekali bersama
ayahnya. Ia tidak rewel atau meminta yang aneh-aneh. Ia berceloteh ria dan
bertanya ini-itu pada Sakti.
"Ayah, dokter itu
tukang suntik ya? Suster kenapa pakaiannya putih-putih sih? Jadi dokter enak
gak, Yah? Rania mau jadi dokter aja ah. Eh, tapi Rania ngeri sama suntikan.
Kenek angkot uangnya banyak ya, Yah? Rania mau jadi pembantu aja deh kayak Bi
Asih, soalnya kata Bunda Bi Asih itu rajin."
Sakti tersenyum dan
menanggapi satu per satu celotehan Rania dengan sabar. Ia menjawab setiap
pertanyaan anaknya dengan bijak dan tepat.
Sampai di apotek, Alif dan
Rayyan menunggu di kursi yang disediakan. Sedangkan Rania tak melepaskan
sedetik pun genggaman tangannya dari sang ayah. Sakti tersenyum ramah sambil
menyerahkan resep pada seorang perempuan berjas putih. Alif sudah dewasa,
sedikit pun ia tidak cemburu karena Sakti memberikan senyum mautnya pada
apoteker. Ia tahu itu suatu keramahan yang wajar. Ia tak akan mempersulit
hatinya dengan hal-hal remeh. Untuk apa? Lagipula ia memiliki senyum Sakti dan
bisa menikmatinya setiap waktu.
Meski saat jalan bersama
seperti ini kadang ada saja yang menatapnya dengan aneh. Setampan apapun rupa
suaminya, perbedaan umur Alif dan Sakti memang sangat ketara. Sekali pun
penampilan mereka high class, tetap saja kadang ada yang
menatap Alif dengan pandangan menilai. Seolah Alif adalah perempuan yang
menikah muda karena dipaksa oleh gadun kaya raya.
Tapi Alif tak peduli.
Menikah diumur 18 tahun, menjadi ibu sebelum berumur 20 tahun―baginya adalah
takdir yang telah diberikan Allah dengan baik.
"Obatnya masih sama
kayak yang kemarin, Mas?" tanya Alif sepulang dari apotek.
"Iya, kalau Rayyan gak
muntah-muntah lagi, dia pasti cepat sembuh." Kata Sakti.
Alif mengangguk mengerti.
Seberat apapun tanggung jawab yang ia emban sebagai seorang ibu semuanya tak
terasa sulit jika bersama Sakti. Ia sama sekali tak menyesal―ketika perempuan
lain seusianya masih sibuk menyelesaikan kuliah atau melanjutkan S2, Alif
mengabdikan diri sebagai ibu dan istri. Kehilangan jatah bergaul dengan
perempuan seusianya untuk mengurus anak. Sepaket repot dan bahagia
dirasakannya. Beratnya mengandung, sakitnya melahirkan, repotnya bangun tengah
malam untuk menyusui adalah anugerah yang hanya bisa dirasakan seorang ibu. Dan
Alif mensyukuri itu. Meski lelah, ia menikmati dan berjanji tidak akan berkeluh
kesah lagi.
Tepat ketika mereka sampai
di pelataran parkir, jantung Alif berdebar hebat. Retina matanya menangkap
objek sosok seorang wanita yang tak ingin dilihatnya berdiri di depan mereka.
Meski sudah lama tak
melihatnya, ia masih hapal bentuk wajah wanita itu. Sejak dulu tak banyak
berubah. Masih cantik dan sepertinya tidak menua. Apa
aku baru saja memuji orang yang sudah menghancurkan rumah tanggaku? Tanya hatinya.
Deidre berjalan mendekat.
Alif berusaha mengontrol emosi agar tak meledak dan mempermalukan Sakti.
"Sakti? Alif?"
Deidre menyapa lebih dulu. Ada binar keraguan saat ia menyebut nama dua orang
itu. Namun dengan posisi seperti ini ia tak mungkin berpua-pura bodoh untuk tak
melihat mereka.
Alif memerhatikan Sakti
menatap Deidre dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. Ia tersenyum tipis pada
sapaan Deidre.
"Kebetulan ketemu di
sini," katanya basa-basi. "Siapa yang sakit?"
Alif membiarkan Sakti
menjawab pertanyaan Deidre. Ia menyibukkan diri dengan mengusap kening Rayyan
yang berkeringat dingin. Jauh dalam lubuk hatinya Alif memaafkan Deidre karena
apa yang telah wanita itu lakukan―ternyata justru membuatnya semakin yakin
bahwa Sakti mencintainya begitu besar. Dan dengan gertakan yang pernah
dilakukan Deidre, ia juga jadi bisa mengakui perasaannya terhadap Sakti.
Tapi Alif juga manusia
biasa. Ia wanita tulen, yang memiliki segudang rasa cemburu dan penuh rasa
penasaran. Di sudut hatinya yang lain, ia kesal karena bagaimana pun Deidre
yang pernah menimbulkan kesalahpahaman terhadap Sakti sampai mereka terpisah
jauh untuk beberapa lama.
"Si bungsu yang
sakit," jawab Sakti singkat. Alif mendengus lega mendengar itu. Artinya
suaminya memang tak ingin terlibat dalam obrolan panjang dengan mantan
istrinya.
"Kalau kamu?"
tanya Sakti yang membuat Alif mengangkat wajah dan melihat suaminya. Ia sudah
tak menemukan raut dingin atau datar pada wajah Sakti. Keduanya terlihat akrab,
dan dengan keseuaian umur mereka terlihat pantas sebagai suami istri.
"Mas...." Alif
menyentuh lengan Sakti mengisyaratkannya agar segera pulang.
Sakti pun pamitan kepada
Deidre. Di luar dugaan, Deidre juga menyapa Rania dan Rayyan yang ada dalam
pangkuan Alif. Ia bersikap seolah tak pernah ada hubungan yang retak diantara
mereka.
"Kami pulang ya
Deidre." Kata Sakti.
"Cepat sembuh ya untuk
anak kalian," jawabnya.
Alif mengangguk dan
tersenyum pada prempuan itu demi menghormati suaminya. Deidre mengerti ia tak
mungkin bicara banyak pada Alif dan Sakti. Meski sebenarnya dalam hati ada
banyak maaf yang ingin ia ungkapkan.
***
"Ayah, Tante yang tadi
itu siapa sih? Dia kok cantik banget kayak artis!" celetuk Rania saat
mereka dalam perjalanan pulang. Sakti berdeham membersihkan kerongkongannya
yang mendadak kering. Ia melirik Alif sekilas, bibir istrinya maju beberapa
senti mendengar pujian polos dari Rania.
"Eh-hem, Tante yang
tadi itu teman lama Ayah," jawab Sakti. Ia berdoa dalam hati agar Rania
tak bertanya lagi tentang Deidre.
"Teman lama? Teman
sekolah?"
Sakti tidak menjawab. Ia
tak ingin berbohong dan memilih diam.
"Waktu kucium
tangannya pas salam tadi, Tante itu wangi banget. Gak kayak tangan Bunda. Bunda
tangannya suka berminyak!" lanjut Rania polos.
"Kakak!" Alif
berusaha menekan emosinya. "Kamu jangan ngoceh terus nanti adik
bangun," ujar Alif. Itu tidak sepenuhnya benar, meski berisik ia senang mendengar
Rania yang bertanya serba ingin tahu. Tapi hatinya juga tercubit mendengar
kepolosan anaknya yang memuji Deidre.
Seandainya
kamu tahu, Nak. Batinnya.
Alif merutuk. Duh, Lif kenapa harus cemburu sih? Memangnya
kamu mau dimusuhin Nabi Muhammad di padang Mahsyar gara-gara cemburumu bikin
suamimu memutuskan tali silaturahimnya?
Alif menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. Mengusir segala pikiran dan perasaan yang mengacaukan
hatinya.
"Kenapa Sayang?
Pusing?" tanya Sakti perhatian.
"Eh, eng-enggak kok
Mas," jawabnya gagap.
"Yakin gak kenapa-napa
nih? Kamu daritadi diam terus."
Alif mengangguk meyakinkan
Sakti bahwa dirinya baik-baik saja.
Sakti menyunggingkan
senyum. Ia memahami Alif sepeti ia paham dirinya sendiri. Meski bibirnya
berkata tidak, tapi hatinya tidak demikian. Sekarang Alif memang sudah jarang
merajuk dan menunjukkan kecemburuan. Anehnya justru ia yang sering cemburu.
Apalagi melihat Alif yang seperti tidak pernah bosan pada artis favoritnya;
Choi Siwon.
Kadang Sakti merasa bodoh
jika mengingat hal ini. Karena ia cemburu pada lelaki yang sudah pasti tidak
akan merenggut Alif darinya. Tapi begitulah cinta, banyak rasa.
***
"Alif ayo dong, masa
kamu gak kasihan sih sama aku?" bujuk Sakti pada Alif yang terus
membelakanginya. Well, this is a Saturday night. Waktunya pacaran. Tapi mereka bukan pasangan yang
masih bebas jalan-jalan ke luar atau makan malam romantis di restoran. Mereka
adalah sepasang orang tua dengan dua orang anak. Sakti dan Alif sudah tak
sebebas dulu untuk bepergian ke luar rumah meski masih melakukanya sesekali.
"Enggak ah, Mas. Alif
lagi subur nih."
"Ya gak apa-apa dong
Lif, mana tahu kamu hamil lagi kan?" kekehnya sambil memeluk pinggang Alif
dan mengecup telinganya.
Alif menepis.
"Mas Sakti enteng
bilang begitu, aku bukannya gak seneng hamil ya Mas, tapi aduh ... Rania aja
rewelnya minta ampun, Rayyan juga lagi aktif-aktifnya. Kalau punya anak lagi
aku gak sanggup deh. Program pemerintah juga kan, dua anak cukup."
Alif berbalik dan
mengacungkan dua jari yang langsung diraih Sakti dan dikecupnya.
"Salah sendiri kenapa
gak nyetok."
Begitu kata Alif. Di luar sana hujan turun mengguyur lebat. Sulit bagi Sakti
untuk ke luar. Ia tak menyangka bahwa sekotak kondom bisa menjadi barang yang
begitu berharga disaat-saat genting seperti ini.
"Lagian ya, Alif sebel
sama Mas Sakti!" sungutnya. Ia tak peduli meski saat ini terlihat
kekanakan.
"Aku salah apa, My
Sunshine?" Sakti menggoda dengan suara yang terdengar menggelitik dan
seksi.
Alif menghela napas
panjang. Bibirnya mengerucut, antara kesal dan malu pada godaan Sakti.
"Mas Sakti kenapa sih
kelihatannya akrab banget sama si Diare itu?"
"Diare?"
"Iyaaa... your
ex-wife!"
"Oh...Deidre? Diare mah mencret-mencret. Kenapa? Alif
cemburu?"
Alif menggembungkan pipinya
yang membuatnya semakin terlihat menggemaskan.
"Sayang, aku tahu kamu
kesal. Kalau ingat itu pun aku kesal, marah, jijik sama dia. Tapi kan gak baik
menyimpan dendam sama orang. Aku gak mau punya penyakit hati."
Mata Alif mengerjap lucu.
"Lagi pula aku harus
gimana gitu kalau lihat dia? Bentak-bentak? Marah begitu? Deidre memang pernah
jahat wajar kalau kamu benci dia. Tapi seandainya kamu mengerti, Lif karena
masalah yang dibuat Deidre kita jadi sedekat ini sekarang. Mungkin memang
begitu cara Allah menyatukan kita. Tanpa masalah itu mungkin kamu masih
gitu-gitu aja sama aku. Malu-malu."
Sakti mengerling.
"Gak baik Sayang,
nyimpen benci kayak begitu. Kamu tidak perlu mencemaskan apapun, sebab hatiku
sudah terpaut dengan hatimu. Dia masa laluku dan dia tidak seberarti
kamu."
Sakti tahu ini cheesy, tapi ia sungguh-sungguh berkata jujur.
Alif adalah penyembuh luka hatinya. Ia yang menyempurnakan hidupnya sebagai
lelaki, setelah melahirkan Rania dan Rayyan Alif memberinya kesempatan untuk
menjadi orang yang selalu ingin ia perankan.
Sedangkan Deidre hanyalah
masa lalunya. Orang yang pernah penting dan pernah hidup dalam hatinya. Tak
masalah bagi Sakti, jika persoalan tentang Deidre sewaktu-waktu naik ke
permukaan―ia masih harus mengulang kalimat penjelasan. Sedikit pun ia tidak
menilai ini sebagai ketidaksetiaan Alif pada dirinya. Ia justru menganggap ini
adalah momen yang tepat untuk mengungkapkan cinta.
"Aku cinta kamu, My Sunshine."
Sakti mengelus pipi Alif
menatap jauh ke dalam mata istrinya. Ada banyak binar cinta di sana.
"Aku lebih cinta kamu,
Mas," balas alif.
"Aku yang paling cinta
kamu."
Alif tersenyum. Ia mengelus
kening Sakti yang dihiasi kerutan halus. Elusannya lalu naik ke rambut yang
mulai ditumbuhi uban. Tapi tetap saja bagi Alif, Sakti terlalu tampan untuk
lelaki berumur 43 tahun. Sakti meraih jemari Alif yang memainkan rambutnya dan
meremasnya pelan.
"Kamu tahu Lif, aku
bahagia menua bersamamu."
Mendengar itu sebuah
seringai khas Alif tercetak di bibirnya. Sakti merubah posisi mereka dengan
menunduk di atas istrinya. Kedua lengannya mengurung Alif di kanan dan kiri.
Sakti mengecup keningnya dengan sayang, lalu kedua kelopak matanya bergantian.
Mengecup pipinya penuh perhatian, dan berakhir dengan ciuman di bibir.
Hanya bersama Alif, Sakti
seperti ini. Debar jantungnya tak beraturan dan itu hanya bisa ia rasakan
setiap Alif menyentuhnya dan disentuhnya.
Ketika bibir mereka masih
memagut mesra, terdengar suara pintu menjeblak terbuka.
"Ayah! Bunda! lagi
ngapain? Adik nangis terus aku jadi gak bisa tidur!" seru Rania sambil
mengucek kedua matanya.
***
Siapa Alif? Siapa Sakti? Kenapa
perempuan muda seperti Alif punya suami yang udah ubanan? Ada apa antara sakti dengan
Deidre? (Btw, beda usia Sakti sama Alif itu delapan belas tahun ya~)
Kamu akan menemukan jawabannya dalam
buku ini:
Judul: My Young Bride
Penulis: Aliana Deen
Penerbit: LovRinz Publishing
Sinopsis:
Katanya, cemburu adalah bukti adanya
cinta. Tapi tidak setiap pelaku cinta mampu membingkai rasa cemburu di hatinya
menjadi potret cinta yang indah.
Sakti, seorang pria mapan yang telah
menduda dan tak percaya lagi sebuah pernikahan dipertemukan dengan Alif, gadis muda
belia yang enerjik dan bercita-cita tinggi. Sakti terbuai dengan
kecerdasan gadis yang tak lain adalah
putri dari bawahannya.
Sebuah takdir mengikat mereka menjadi
sepasang suami-istri. Alif harus rela menerima Sakti saat ia kehilangan.
Sementara Sakti yang terlanjur mencintai Alif, harus menahan gejolak gairah cinta sampai Alif
benar-benar mencintainya.
Tanpa Alif duga, benih cemburu itu
tumbuh subur dalam hatinya. Apakah ia benar-benar telah ikhlas? Ataukan semata
karena keterpaksaan atas takdir yang mengikatnya?
***
Saya jamin deh, novel ini akan bikin
kamu tertawa terpingkal-pingkal juga berderai air mata. Adegan-adegannya yang
romantis bahkan mungkin bisa bikin kamu diabetes saking manisnya. Saya aja
belum bisa move on dari Mas Sakti yang oh-so-adorable ini. Sudah tampan, pintar, penyayang, abdi negara
... istilahnya buat Mas Sakti tuh, bukan duda keren tetapi duda cemerlang!
Sebab dia lebih dari sekadar keren. *fangirl
mode on*
Kisah ini gak hanya menceritakan cinta
antara dua orang yang terpaut umur begitu jauh. Lebih dari itu, kamu juga akan
diajak memahami tentang harapan, ketulusan, dan rasa percaya.
Percaya pada Tuhan, bahwa Dia tidak akan
membiarkan orang-orang berhati baik hidup sendirian. Percaya pada cinta, karena
cinta bisa membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin, selama ketulusan ada di
dalamnya. Yang tidak pernah kamu bayangkan pun bisa saja terjadi.
Satu yang pasti, Tuhan mendengar apa
yang kamu minta dan tahu apa yang kamu butuhkan.
Fanfiction
ini
diikutsertakan dalam giveaway yang
diadakan oleh Mbak Dini Virtaliana. Sudah pernah saya pos di lapak saya yang
satu, dan naskah ini menang. Saya jadi juara satu. Huhuhu terharu. Entah sudah
berapa kali saya ikut giveaway, baru
sekali ini menang. Saya emang gak hoki kalau ikutan giveaway yang diundi. Untung ini gak diundi, tetapi dinilai langsung
sama penulisnya.
By the way, itu link hidup ya kalian bisa kontak langsung
penerbit untuk mendapatkan bukunya. Dan ... setelah ini, saya akan REVIEW NOVEL
OVER THE RAIN KARYA MBAK ASRI TAHIR!
Oh, saya gak bisa santai kalau udah ngomongin
novel ini. Kyaaaa, Bang Bintaaang!!!
Maklumlah ... saya kan cewek tulen yang
demen sama cerita romance. Jadi yang ngatain saya suka baca komik Yaoi,
itu FITNAH! Saya gak baca komik Yaoi sebab gak tahu di mana mau ngumpetinnya.
Nanti saya dikutuk jadi kanebo sama
Allah :D
***
PRANG!
BalasHapusKalo saya udah 21 + dong ya jadi boleh donggg... wkwkwkwkw :)
Jadi mengenai Alif dan Sakti, seterusnya bisa ditemukan di My Young Bridge ya Lulu.. :)
My Young Bride, Om judulnya. Salah ketik tuh. :D
HapusSiapa yang salah ketik, Lulu apa saya?
HapusOh iya saya, harusnya bride bukan bridge. Iya kan? :)
Aku jadi ngebayangin Mas Sakti itu kayak Mr Grey di film Fifty Shades of Grey ya. Hehe. Mungkin Sakti lebih tua dari Grey, tapi pesona yang dipancarkan sama. Bikin meleleh :D
BalasHapusAku kira Alif itu cowok tapi ternyata cewek hahaha.
BalasHapusSama mbak Wida...aku juga ngira si Alif itu nama cowok...haha
BalasHapusOya...aku suka dengan kata-kata Alif yang bilang "dimusuhin Nabi Muhammad dipadang Mahsyar gara-gara cemburu mu bikin suamimu memutuskan tali silaturahimnya", seandainya semua istri bisa mengerti seperti itu, sungguh beruntung para suami..hehe
Hahahahha, aku kira ini cerbungmu; ternyata ada novelnya hahhaha. Kayaknya bagus dibaca :-D
BalasHapuskirain Alif cowok, ternyata cewek hampir gagal paham, eh tapi itu gif-nya bagus ya? :p
BalasHapusItu saya lagi kesurupan waktu browsing gambarnya, Om. Percaya deh, saya orang yang sangat menjaga pandangan. Hahahahahaha. *kibas cadar*
HapusDengan panggilan sayang seorang cewek memang bisa berubah dengan cepat yaa, apalagi kalau dikasih pluss+ hadeuh malah gx fokus komennnya, udah ahh segitu aja :D
BalasHapusya ampun...
BalasHapuslu2, kemana aja dirimu ga keliatan :(
hik hik hik udah lama ga nongol ke sini
btw, tulisannya panjang tapi enak dibaca
cuma agak gantung euy
*biar pembaca penasaran ya? he he he
Gantung karena ini side story kali yah, soalnya tokohnya dicomot dari novel. Kan fanfic gitu deh.
HapusIya saya lama ga ngeblog. Hehe.
Iya,tidak semua cemburu jadi indah
BalasHapusJika dibungkus rasa marah
:D
Hmm memang menyakitkan sekali apabila cemburu sedang melanda.
BalasHapusHai kak salam kenal, padahal udah ada peringatan dilarang masuk tapi karena sudah kadung baca ya akhrinya nerusin aja sampai selesai. Aku sudah banyak baca fanfic yang lebih dari ini (?)
BalasHapusSuka sih sama cerpennya, ngalur begitu aja. Cuma yang bikin bingung kenapa nama istrinya Alif, mikirnya istrinya itu cowo, eh di akhir tulisan malah bahasa yaoi-yaoian. Semoga menang ya giveawaynya :)
Sudah menang, Dek. Wahahaha ini sebenarnya gak separah itu kan ya adegan dewasanya. Aku cuma ngasih peringatan aja, sih. Dan ternyata peringatanku malah bikin pada penasaran. Hahaha iya, kalau belum baca novelnya engga bakal tau kenapa nama istrinya ini Alif.
HapusSoal yaoi itu, gak ada hubungannya sama cerita ini yah. Itu bercandaan temen saya aja wkwkwk