Jam yang terpaku di
dinding menujukan pukul 2 siang. Sudah tengah hari dan Bintang baru terbangun. Jika
semalam dia tidak menenggak dua butir diazepam, mungkin dia tidak akan bisa
tidur sampai sekarang. Karena pikiran dan hatinya tidak bisa tenang.
Bintang merasakan
lelah dan bersalah yang semakin membuncah di dadanya. Lelah karena usahanya
untuk kembali mendapatkan Bulan berakhir sia-sia. Jangankan untuk memiliki,
kesempatan untuk melihat Bulan pun tidak akan dia dapatkan lagi.
Kesalahannya telah
membuat wanita yang sudah dia cintai belasan tahun lamanya kini jauh dari
sisinya. Perasaan bersalah semakin membuat dadanya sesak, manakala dia teringat
pada janjinya kepada Reza yang tidak akan lagi mengusik kehidupan Bulan― wanita
yang pernah dia harap akan hidup dan menua bersamanya.
Bintang bangun dan
menatap wajahnya di cermin. Dia terlihat berantakan. Kemeja yang belum dia
ganti sangat kusut. Kantung matanya hitam dan jelas, rambutnya acak-acakan, bau
alkohol dan nikotin tercium dari tubuhnya. Semalam, Bintang minum alkhol dan
merokok lebih dari dua belas batang. Dia harap bergelas-gelas alkohol yang dia minum,
bisa membuatnya mati. Dia terlalu pengecut untuk menghadapi hari ini.
Pening menghantam
kepalanya, disaat yang sama kecewa yang menyerang hatinya bertubi-tubi datang.
Dia teringat semua usahanya untuk memiliki Bulan. Susah payah dan jatuh bangun
dia merusak rumah tangga Bulan dan Reza,
tidak sukses membuat Bulan dan dirinya hidup bersama. Nyatanya, kini wanita
yang dia cintai kembali ke pelukan Fahreza Ibrahim―pria yang hari ini kembali
menikahi Bulan. Sekeras apapun Bintang mencoba, usaha itu tetap tidak mampu merubah
takdir-Nya.
Bintang membantingkan tubuhnya diatas kasur.
Dia merasa menjadi laki-laki paling tolol sedunia. Ketika bercinta dengan
Bulan, dia sama sekali tidak berpikir bahwa itu akan membuat dia kehilangan
Bulan selamanya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa cinta menggebu-gebu yang
ada dalam hatinya justru menjadi penyebab dia merasa kecewa. Seperti inikah
perasaan Reza ketika dulu Bintang merebut Bulan darinya? Jika sesaknya lebih
dari ini, Bintang tidak mampu membayangkannya.
***
Hari
mulai beranjak sore, dan Bintang sudah tidak lagi peduli pada berjalannya
waktu. Karena baginya siang atau malam tetap terasa gelap. Segelap hatinya yang
pilu karena cinta tak sampai kepada Sinar Rembulan.
Bulan kini telah
bahagia, bukankah itu yang diingkannya? Bisik hati Bintang bertanya. Dia sangat
mencintai Bulan, tapi hatinya sendiri juga harus dibahagiakan. Entah kapan
Bintang akan benar-benar merasa ikhlas. Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sinar matahari yang
meredup, menandakan hari mulai petang. Sang bagaskara akan berganti oleh
pekatnya langit malam, dan taburan bintang...tanpa bulan. Semesta pun seolah
ikut menyadarkannya, bahwa Bulan dan Bintang tidak harus selalu bersama. Rasa
panik menyergap hatinya, ketika langit mulai menggelap dan bayangan Bulan
semakin menjadi-jadi dalam pikirannya. Bagaimanapun Bulan adalah wanita yang
sudah dia kenal sejak lama. Bukan hal yang mudah baginya untuk melepaskan
perasaan pada wanita yang sudah dia sayangi sejak masih sangat belia.
Masa-masa
membahagiakan ketika dia dan Bulan masih bersama dalam status sahabat, sama
sekali tidak terbayangkan olehnya bahwa kedekatan itu akan menumbuhkan rasa
cinta yang sulit dilupakan apalagi dihilangkan.
Bintang semakin
gelisah ketika dia ingat bahwa obat penenang yang dimilikinya sudah habis
semalam. Dua butir diazepam yang seharusnya digunakan untuk dua kali minum, dia
tenggak sekaligus kemarin karena rasa kantuknya tidak kunjung datang. Kesibukannya
tidak membuat Bintang lupa pada Bulan. Hanya di kantor dia bisa menguatkan diri
dan merasa hidup baik-baik saja. Tapi
setelah pulang, hatinya kembali hampa. Dia merindukan Bulan. Dia selalu
berharap Bulanlah yang akan menyambutnya di rumah. Dengan senyum cantik yang
dapat membuat lelahnya musnah.
Bintang mengacak
rambutnya frustasi. Dia segera beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar
mandi untuk menyegarkan badan. Setelah selesai, dia ganti pakaiannya. Dan
segera meraih kunci mobil yang tergeletak diatas meja. Bintang sadar kalau
hidupnya tidak boleh terus menerus seperti ini. Bulan sudah bahagia dan
seharusnya dia juga bahagia. Bintang mengendarai mobilnya tak tentu arah.
Terpikir olehnya untuk mengkonsultasikan masalahnya kepada psikiater.
“Ah, masa iya gue
segila ini?” tanyanya pada diri sendiri sambil meninju setir. Sementara pening
yang menyerang kepalanya masih belum hilang.
“Gue bisa makin susah
tidur kalau kepala sakit begini.” Keluhnya sambil mengurut kepalanya dengan
tangan kiri. Tanpa berpikir panjang, Bintang langsung berbelok ketika matanya
melihat klinik 24 jam.
***
Setelah daftar,
Bintang menuju ruang pemeriksaan. Tidak banyak pasien yang berobat petang ini. Bau
obat-obatan menyeruak bahkan ketika Bintang hanya baru dua langkah memasuki
ruangan itu.
“Silakan masuk,
duduk.” Ucap seorang perempuan berjas putih yang menggantungkan stetoskop di
lehernya.
“Apa keluhannya Pak?”
tanyanya kepada Bintang yang tidak mampu menyembunyikan wajah lelah dan gelisahnya.
“Kepala saya sakit
terus,jadi susah tidur.”
“Selain itu, apa
lagi?”
Bintang menggeleng. Hati gue juga sakit! Teriaknya dalam
hati. Meski banyak yang kegelisahan yang dia rasakan, tidak mungkin dia
menceritakannya pada dokter ini.
“Coba saya tensi
dulu.”
Bintang mengulurkan
lengan kirinya. Sphgymomanometer segera melingkar di lengannya, stetoskop
diletakkan tepat diatas denyut nadi Bintang. Suara balon tensi terdengar
menciut ketika pemeriksaan tekanan darah selesai dilakukan.
Dokter muda tersebut
terlihat serius dan telaten ketika memeriksa Bintang. Tanpa sadar, ketika kulit
lengan mereka bertemu, sentuhan yang dilakukan dokter itu mengirimkan sinyal
kepada otak Bintang. Sentuhan seperti inilah yang dia butuhkan sekarang.
Sentuhan wanita yang mampu membuatnya nyaman saat hatinya merasa gelisah tak
berkesudahan. Rasa tertarik menyusup ke hatinya ketika melihat wajah cantik dokter
itu tersenyum ke arahnya.
“Tekanan darah Bapak
cukup tinggi. Bapak harus istirahat, tidak boleh kurang tidur.”
Bintang tak
bergeming. Masih menatap dokter cantik itu dalam pandangannya. Menikmati
rasa-rasa yang baru saja menyusup ke dalam hatinya.
“Pak? Pak Bintang?”
ucap dokter itu mencoba menyadarkan Bintang yang menatapnya lekat.
“Eh, i...iya?”
Bintang terkesiap.
“Tekanan darah Bapak
tinggi. Bapak harus istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran.” Ucapnya
sambil tersenyum melihat tingkah konyol pasiennya.
“Pola makannya juga dijaga
ya. Konsumsi garam dikurangi. Ini resep untuk Anda. Obatnya diminum teratur.” Jelasnya
sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan obat-obatan. Bintang tersenyum melihat
kertas yang diterimanya.
“Ada apa, Pak? Anda
memiliki riwayat alergi obat?”
“Oh, enggak. Saya
baru lihat ada dokter yang tulisan tangannya rapi, bagus. Gak kayak benang
kusut.” Jawab Bintang sambil tertawa kecil.
Dokter itu hanya
tersenyum tipis dan tidak menanggapi perkataan Bintang.
“Terima kasih, semoga
lekas sembuh.” Ucapnya seolah tidak ingin terlibat dalam obrolan panjang
bersama Bintang.
Bintang mengangguk
dan tersenyum. Dia menatap dokter itu sekilas yang sedang menyimpan sphgymomanometer
ke tempatnya. Masa iya ini cinta? Bisik
hatinya bertanya. Bintang kembali pada pikirannya, lalu melangkah menuju arah
pintu untuk keluar dari ruangan yang bau obat-obatan itu.
Namun baru dua
langkah meninggalkan kursi, Bintang berbalik seolah ada sesuatu yang dia
lewatkan. Dokter perempuan yang tadi memeriksanya, menatap Bintang dengan ekspresi
wajah penuh pertanyaan.
“Oh ya, nama dokter
siapa?” tanya Bintang lugu. Laki-laki sekelas Bintang mendadak bodoh sekarang.
Dokter muda itu menatapnya
bingung. Name tag terpasang di
jasnya. Dalam resep juga tertulis namanya, untuk apa pasiennya menanyakan ini? Tanyanya
dalam hati.
Melihat dokter
perempuan itu tak kunjung menjawab, Bintang mengulurkan tangannya sambil
menyebutkan namanya yang indah.
“Bintang Lazuardi.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik. Tidak ada
tanggapan.
Wajah Bintang
seketika berubah. Dia menarik napas dalam-dalam. Siap mendapat malu karena
mengira rasa yang masuk tergesa-gesa ke dalam hatinya adalah cinta. Cinta pada
pandangan pertama. Rasanya sekarang dia ingin menguap menjadi gas.
Sampai pada detik ke
sekian, dokter muda itu mengeluarkan suara.
“Saya... Amyra
Fauzia.” Ucapnya sambil melengkungkan senyum dan menyambut uluran tangan
Bintang.
Melihat dokter itu
tersenyum, wajah Bintang juga menunjukan ekspresi yang sama. Meski dia sendiri
masih tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini. Laki-laki matang sepertinya
tidak mungkin jatuh cinta dengan instan, meski dia tidak membohongi diri bahwa
dia tak mau hidup sendiri. Dan tak mau terus menerus terpuruk seperti ini. Sadar
Bulan tak akan lagi dimilikinya, dan Bulan bahagia bersama Reza. Karena itulah
Bintang mengumpulkan seluruh kekuatan untuk memulai kisah baru. Membuka
perasaannya untuk hati yang baru.
***
Naskah
ini diikutsertakan dalam give away
yang diadakan oleh Asri Damayanti Tahir.
Semalam, Bintang minum alkhol...bukannya bintang itu merk bir ya ?? jadi jeruk makan jeruk donk ya :D
BalasHapusceritanya menarik dan keren sekali mbak, setuju...jatuh cinta memang mungkin tidak bisa instan, tapi terpuruk pun seharusnya jangan lama-lama, apalagi sebentar lagi musim mudik, terpuruk lama, antrian kendaraan lama, galau sepanjang masa, ubanan dah akhirnya...eh, apasih ini teh
Bukan Om, Bintang nama tokohnya. Yaelah -__-
HapusEmang ada minuman merk Bintang ya? Taunya obat puyer. Bintang Toedjoe hahaha. :D
keterpurukan seseorang pada cinta tak seyogyanya berakar tetapi bersegeralah bangkit dari keterpurukan cinta tersebut untuk di raih dan di genggam
BalasHapusEdaaas hahaha.
HapusGood luck untuk giveawaynya, ya :)
BalasHapusebuset, baca artikel ini jadi gimana gitu?
BalasHapusini lu2 yang nulis?
dewasa benerrrrrrr :)
he he he
biar kata bintang menggeleng, tapi hati gue ga sakit kok...