Rabu, 17 Juni 2015

Hati yang Baru

Jam yang terpaku di dinding menujukan pukul 2 siang. Sudah tengah hari dan Bintang baru terbangun. Jika semalam dia tidak menenggak dua butir diazepam, mungkin dia tidak akan bisa tidur sampai sekarang. Karena pikiran dan hatinya tidak bisa tenang.
Bintang merasakan lelah dan bersalah yang semakin membuncah di dadanya. Lelah karena usahanya untuk kembali mendapatkan Bulan berakhir sia-sia. Jangankan untuk memiliki, kesempatan untuk melihat Bulan pun tidak akan dia dapatkan lagi.
Kesalahannya telah membuat wanita yang sudah dia cintai belasan tahun lamanya kini jauh dari sisinya. Perasaan bersalah semakin membuat dadanya sesak, manakala dia teringat pada janjinya kepada Reza yang tidak akan lagi mengusik kehidupan Bulan― wanita yang pernah dia harap akan hidup dan menua bersamanya.
Bintang bangun dan menatap wajahnya di cermin. Dia terlihat berantakan. Kemeja yang belum dia ganti sangat kusut. Kantung matanya hitam dan jelas, rambutnya acak-acakan, bau alkohol dan nikotin tercium dari tubuhnya. Semalam, Bintang minum alkhol dan merokok lebih dari dua belas batang. Dia harap bergelas-gelas alkohol yang dia minum, bisa membuatnya mati. Dia terlalu pengecut untuk menghadapi hari ini.
Pening menghantam kepalanya, disaat yang sama kecewa yang menyerang hatinya bertubi-tubi datang. Dia teringat semua usahanya untuk memiliki Bulan. Susah payah dan jatuh bangun dia merusak  rumah tangga Bulan dan Reza, tidak sukses membuat Bulan dan dirinya hidup bersama. Nyatanya, kini wanita yang dia cintai kembali ke pelukan Fahreza Ibrahim―pria yang hari ini kembali menikahi Bulan. Sekeras apapun Bintang mencoba, usaha itu tetap tidak mampu merubah takdir-Nya.
 Bintang membantingkan tubuhnya diatas kasur. Dia merasa menjadi laki-laki paling tolol sedunia. Ketika bercinta dengan Bulan, dia sama sekali tidak berpikir bahwa itu akan membuat dia kehilangan Bulan selamanya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa cinta menggebu-gebu yang ada dalam hatinya justru menjadi penyebab dia merasa kecewa. Seperti inikah perasaan Reza ketika dulu Bintang merebut Bulan darinya? Jika sesaknya lebih dari ini, Bintang tidak mampu membayangkannya.
***
          Hari mulai beranjak sore, dan Bintang sudah tidak lagi peduli pada berjalannya waktu. Karena baginya siang atau malam tetap terasa gelap. Segelap hatinya yang pilu karena cinta tak sampai kepada Sinar Rembulan.
Bulan kini telah bahagia, bukankah itu yang diingkannya? Bisik hati Bintang bertanya. Dia sangat mencintai Bulan, tapi hatinya sendiri juga harus dibahagiakan. Entah kapan Bintang akan benar-benar merasa ikhlas. Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sinar matahari yang meredup, menandakan hari mulai petang. Sang bagaskara akan berganti oleh pekatnya langit malam, dan taburan bintang...tanpa bulan. Semesta pun seolah ikut menyadarkannya, bahwa Bulan dan Bintang tidak harus selalu bersama. Rasa panik menyergap hatinya, ketika langit mulai menggelap dan bayangan Bulan semakin menjadi-jadi dalam pikirannya. Bagaimanapun Bulan adalah wanita yang sudah dia kenal sejak lama. Bukan hal yang mudah baginya untuk melepaskan perasaan pada wanita yang sudah dia sayangi sejak masih sangat belia.
Masa-masa membahagiakan ketika dia dan Bulan masih bersama dalam status sahabat, sama sekali tidak terbayangkan olehnya bahwa kedekatan itu akan menumbuhkan rasa cinta yang sulit dilupakan apalagi dihilangkan.
Bintang semakin gelisah ketika dia ingat bahwa obat penenang yang dimilikinya sudah habis semalam. Dua butir diazepam yang seharusnya digunakan untuk dua kali minum, dia tenggak sekaligus kemarin karena rasa kantuknya tidak kunjung datang. Kesibukannya tidak membuat Bintang lupa pada Bulan. Hanya di kantor dia bisa menguatkan diri dan merasa hidup  baik-baik saja. Tapi setelah pulang, hatinya kembali hampa. Dia merindukan Bulan. Dia selalu berharap Bulanlah yang akan menyambutnya di rumah. Dengan senyum cantik yang dapat membuat lelahnya musnah.
Bintang mengacak rambutnya frustasi. Dia segera beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi untuk menyegarkan badan. Setelah selesai, dia ganti pakaiannya. Dan segera meraih kunci mobil yang tergeletak diatas meja. Bintang sadar kalau hidupnya tidak boleh terus menerus seperti ini. Bulan sudah bahagia dan seharusnya dia juga bahagia. Bintang mengendarai mobilnya tak tentu arah. Terpikir olehnya untuk mengkonsultasikan masalahnya kepada psikiater.
“Ah, masa iya gue segila ini?” tanyanya pada diri sendiri sambil meninju setir. Sementara pening yang menyerang kepalanya masih belum hilang.
“Gue bisa makin susah tidur kalau kepala sakit begini.” Keluhnya sambil mengurut kepalanya dengan tangan kiri. Tanpa berpikir panjang, Bintang langsung berbelok ketika matanya melihat klinik 24 jam.
***
Setelah daftar, Bintang menuju ruang pemeriksaan. Tidak banyak pasien yang berobat petang ini. Bau obat-obatan menyeruak bahkan ketika Bintang hanya baru dua langkah memasuki ruangan itu.
“Silakan masuk, duduk.” Ucap seorang perempuan berjas putih yang menggantungkan stetoskop di lehernya.
“Apa keluhannya Pak?” tanyanya kepada Bintang yang tidak mampu menyembunyikan wajah lelah dan gelisahnya.
“Kepala saya sakit terus,jadi susah tidur.”
“Selain itu, apa lagi?”
Bintang menggeleng. Hati gue juga sakit! Teriaknya dalam hati. Meski banyak yang kegelisahan yang dia rasakan, tidak mungkin dia menceritakannya pada dokter ini.
“Coba saya tensi dulu.”
Bintang mengulurkan lengan kirinya. Sphgymomanometer segera melingkar di lengannya, stetoskop diletakkan tepat diatas denyut nadi Bintang. Suara balon tensi terdengar menciut ketika pemeriksaan tekanan darah selesai dilakukan.
Dokter muda tersebut terlihat serius dan telaten ketika memeriksa Bintang. Tanpa sadar, ketika kulit lengan mereka bertemu, sentuhan yang dilakukan dokter itu mengirimkan sinyal kepada otak Bintang. Sentuhan seperti inilah yang dia butuhkan sekarang. Sentuhan wanita yang mampu membuatnya nyaman saat hatinya merasa gelisah tak berkesudahan. Rasa tertarik menyusup ke hatinya ketika melihat wajah cantik dokter itu tersenyum ke arahnya.
“Tekanan darah Bapak cukup tinggi. Bapak harus istirahat, tidak boleh kurang tidur.”
Bintang tak bergeming. Masih menatap dokter cantik itu dalam pandangannya. Menikmati rasa-rasa yang baru saja menyusup ke dalam hatinya.
“Pak? Pak Bintang?” ucap dokter itu mencoba menyadarkan Bintang yang menatapnya lekat.
“Eh, i...iya?” Bintang terkesiap.
“Tekanan darah Bapak tinggi. Bapak harus istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran.” Ucapnya sambil tersenyum melihat tingkah konyol pasiennya.
“Pola makannya juga dijaga ya. Konsumsi garam dikurangi. Ini resep untuk Anda. Obatnya diminum teratur.” Jelasnya sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan obat-obatan. Bintang tersenyum melihat kertas yang diterimanya.
“Ada apa, Pak? Anda memiliki riwayat alergi obat?”
“Oh, enggak. Saya baru lihat ada dokter yang tulisan tangannya rapi, bagus. Gak kayak benang kusut.” Jawab Bintang sambil tertawa kecil.
Dokter itu hanya tersenyum tipis dan tidak menanggapi perkataan Bintang.
“Terima kasih, semoga lekas sembuh.” Ucapnya seolah tidak ingin terlibat dalam obrolan panjang bersama Bintang.
Bintang mengangguk dan tersenyum. Dia menatap dokter itu sekilas yang sedang menyimpan sphgymomanometer ke tempatnya. Masa iya ini cinta? Bisik hatinya bertanya. Bintang kembali pada pikirannya, lalu melangkah menuju arah pintu untuk keluar dari ruangan yang bau obat-obatan itu.
Namun baru dua langkah meninggalkan kursi, Bintang berbalik seolah ada sesuatu yang dia lewatkan. Dokter perempuan yang tadi memeriksanya, menatap Bintang dengan ekspresi wajah penuh pertanyaan.
“Oh ya, nama dokter siapa?” tanya Bintang lugu. Laki-laki sekelas Bintang mendadak bodoh sekarang.
Dokter muda itu menatapnya bingung. Name tag terpasang di jasnya. Dalam resep juga tertulis namanya, untuk apa pasiennya menanyakan ini? Tanyanya dalam hati.
Melihat dokter perempuan itu tak kunjung menjawab, Bintang mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya yang indah.
“Bintang Lazuardi.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik. Tidak ada tanggapan.
Wajah Bintang seketika berubah. Dia menarik napas dalam-dalam. Siap mendapat malu karena mengira rasa yang masuk tergesa-gesa ke dalam hatinya adalah cinta. Cinta pada pandangan pertama. Rasanya sekarang dia ingin menguap menjadi gas.
Sampai pada detik ke sekian, dokter muda itu mengeluarkan suara.
“Saya... Amyra Fauzia.” Ucapnya sambil melengkungkan senyum dan menyambut uluran tangan Bintang.
Melihat dokter itu tersenyum, wajah Bintang juga menunjukan ekspresi yang sama. Meski dia sendiri masih tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini. Laki-laki matang sepertinya tidak mungkin jatuh cinta dengan instan, meski dia tidak membohongi diri bahwa dia tak mau hidup sendiri. Dan tak mau terus menerus terpuruk seperti ini. Sadar Bulan tak akan lagi dimilikinya, dan Bulan bahagia bersama Reza. Karena itulah Bintang mengumpulkan seluruh kekuatan untuk memulai kisah baru. Membuka perasaannya untuk hati yang baru.
***

Naskah ini diikutsertakan dalam give away yang diadakan oleh Asri Damayanti Tahir.

6 komentar:

  1. Semalam, Bintang minum alkhol...bukannya bintang itu merk bir ya ?? jadi jeruk makan jeruk donk ya :D
    ceritanya menarik dan keren sekali mbak, setuju...jatuh cinta memang mungkin tidak bisa instan, tapi terpuruk pun seharusnya jangan lama-lama, apalagi sebentar lagi musim mudik, terpuruk lama, antrian kendaraan lama, galau sepanjang masa, ubanan dah akhirnya...eh, apasih ini teh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan Om, Bintang nama tokohnya. Yaelah -__-
      Emang ada minuman merk Bintang ya? Taunya obat puyer. Bintang Toedjoe hahaha. :D

      Hapus
  2. keterpurukan seseorang pada cinta tak seyogyanya berakar tetapi bersegeralah bangkit dari keterpurukan cinta tersebut untuk di raih dan di genggam

    BalasHapus
  3. Good luck untuk giveawaynya, ya :)

    BalasHapus
  4. ebuset, baca artikel ini jadi gimana gitu?
    ini lu2 yang nulis?
    dewasa benerrrrrrr :)

    he he he
    biar kata bintang menggeleng, tapi hati gue ga sakit kok...

    BalasHapus