Jumat, 12 Juni 2015

Sebut saja dia Bunga

Pria baik tidak akan memberi harapan yang tidak bisa diwujudkan.
Tidak akan mengobral janji yang tidak mampu dia tepati.
***
Kisah ini terjadi di kamar kos berdinding hijau pucat. Jendela kamar itu tertutup rapat. Pintunya terkunci. Gordennya juga tertutup rapi. Di dalam kamar itu ada barang-barang khas anak kosan.Televisi, rice cooker, rak buku kecil, kipas angin, sebuah lemari baju, dan tempat tidur berseprai warna biru. Laptop, tas, sepatu, dan barang-barang lain tersimpan rapi pada tempatnya.
Kamar yang selalu bersih dan wangi itu dihuni seorang perempuan berwajah ayu. Sebut saja dia Bunga. Wajahnya sempurna tanpa cela. Senyumnya manis. Mata indahnya tidak membutuhkan riasan berlebihan. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi cukup menggemaskan. Kecantikan sederhana yang dia miliki, tidak membuatnya meragukan Tuhan dengan melakukan perubahan di sana-sini. Bunga hampir tak pernah mau repot-repot merias diri demi dipuji cantik. Satu-satunya hal yang membuat ia repot adalah ulah nakalnya beberapa bulan yang lalu.
***
Sore ini ibu kota diguyur hujan lebat. Gemuruh petir bersahutan. Dalam udara yang dingin, Bunga tidur lemas diatas kasur. Seluruh tubuhnya nyeri. Kakinya bengkak. Dia gelisah. Bunga berguling ke kanan dan ke kiri. Tangannya tak lepas mengelus perutnya. Pandangan matanya buram, Bunga terjatuh dari tempat tidur.
Bunga meringis sakit. Rasanya dia tak mampu untuk bangun dan naik ke tempat tidur lagi. Bunga membiarkan tubuhnya tergeletak diatas karpet beludru merah yang mengalasi lantai kamar kosnya. Keningnya berkeringat. Nafasnya terengah-engah. Tadi dia menyalakan televisi dengan volume agak keras. Memang sengaja untuk mengecoh penghuni kos lain agar tidak mendengar erangannya. Karena Bunga memiliki firasat, sekarang adalah saatnya. Meski dalam perhitungan, saat ini belum waktunya.
Tubuhnya bergetar. Kakinya terasa lemas. Karpet berwarna merah itu kini basah. Entah cairan apa yang keluar dari tubuhnya. Mengotori lantai kamar kosnya yang selalu bersih. Bunga berusaha meraih ponsel yang ada diatas kasur. Sayang, tubuhnya tak bertenaga bahkan meski hanya untuk menggeser  badan.
Seharusnya dia sekarang tidak sendiri. Pria yang bersumpah akan melakukan apa saja demi kebahagiaannya harusnya ada bersamanya. Pria yang pernah berjanji tidak akan meninggalkannya, di mana dia sekarang?
Bunga menatap langit-langit kamar kosnya. Menyapu pandangan ke setiap penjuru. Dia takut malaikat pencabut nyawa sudah bersiap-siap di kamarnya. Dia sungguh belum ingin mati. Setidaknya sampai dia mendapat maaf dari ayah dan ibunya. Dia tidak ingin mati sendiri. Setidaknya sampai ada seseorang yang menemukannya, dan menyampaikan bahwa dia sangat mencintai orang tuanya. Dia tak ingin mati sekarang. Setidaknya sampai kekasihnya tahu, bahwa saat ini Bunga hampir kehilangan nyawa karena perbuatan mereka.
Di detik-detik terakhir Tuhan akan menutup pintu maafnya, Bunga merasakan sesal yang menggunung dihatinya. Dadanya sesak luar biasa. Seandainya dia baik-baik menjaga diri, seandainya Bunga hanya memasrahkan cintanya kepada Tuhan, mungkin sekarang hatinya tidak akan sesakit ini. Ingin rasanya dia memohon maaf pada orang-orang yang hatinya sudah dia patahkan. Pada kepercayaan orang tuanya yang sudah dia buat berantakan.
***
Malam itu, dalam mobil  setelah pulang kuliah....
“Kamu tidak mencintaiku!” Pria itu memalingkan wajah.
“Aku mencintaimu.” Bunga menjawab dengan nada bicara yang meyakinkan.
“Tapi tidak sesayang itu!” Tukas kekasihnya. “Untukmu aku sudah berkorban banyak. Kuberikan apa saja yang bisa membuatmu bahagia.Tapi kamu?” Ucap pria itu sambil menatap Bunga dengan pandangan yang tajam.
Bunga teringat pada semua kesenangan yang sudah pria itu berikan. Hari-hari merah jambu bersama kekasihnya selalu tertulis apik dalam memoarnya. Kehangatan, perhatian, kasih sayang, dan hadiah-hadiah mewah yang mungkin tidak akan mampu dia beli meski menabung seumur hidup. Bunga terdiam sejenak. Kekasihnya telah memberikannya bahagia dan kebebasan yang tak pernah dia dapatkan selama tinggal di kampung. Aturan orang tuanya yang kolot membuatnya merasa terkekang. Sampai ketika ada kesempatan untuk meninggalkan desa dan kuliah di ibu kota, hati Bunga merdeka.
Bunga menatap wajah kekasihnya. Waktu, canda, dan kebahagiaan yang pria itu berikan begitu banyak. Pria itu mencintainya hampir sempurna. Hampir tak pernah membuat Bunga kecewa. Meski sebenarnya dibalik hati Bunga yang dibahagiakan, ada kepingan hati yang merana karena pengkhianatannya. Bunga bukan perempuan yang pertama. Karena setelah bersenang-senang bersamanya, pria yang usianya masih terbilang muda untuk menjadi ayah itu― akan kembali ke rumahnya. Kembali kepada istrinya. Kembali kepada anak dari perempuannya yang sah.
“Apapun yang terjadi padamu, aku janji akan bertanggung jawab.”
“Sungguh?”
“Apa aku pernah membohongimu?”
Bunga menggeleng. Dia merasa pria itu tidak pernah berbohong padanya. Padahal, pria itu telah melakukan banyak kebohongan pada istri dan anaknya.
 Malam itu Bunga mematahkan keyakinan dan norma-norma yang selama ini dijaganya. Sesuatu terjadi di jok belakang mobil kekasihnya.
***
Perut bunga semakin sakit. Lengan kanannya mencengkram tepi tempat tidur dengan kuat, sampai kukunya patah. Perempuan 20 tahun itu meringis kesakitan. Perutnya mulas seperti dililit ular phyton berukuran raksasa. Tulang-tulangnya terasa remuk. Ususnya seperti melilit lambung. Dia mengatur nafas. Bunga bisa merasakan irama jantungnya tak bergdegup seperti biasa. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menjerit menahan sakit. Seluruh tenaganya dikerahkan.  
Bunga menatap ke arah pintu. Berharap pria brengsek yang selama ini telah dia cintai akan datang. Lalu memangku tubuhnya menuju tempat bersalin terdekat. Atau paling tidak, ada menemaninya. Merelakan tangannya dicengkram demi Bunga yang sedang memperjuangkan hidup seorang bayi tak berdosa hasil perbuatan kotor mereka. Dan menyemangatinya dengan kalimat-kalimat yang menguatkan. Tapi tidak mungkin.
Sejak lima bulan lalu pria itu tak pernah datang lagi setelah Bunga menolak menggugurkan bayi yang tumbuh dalam rahimnya.
“Kalau kamu tidak mau menggugurkan kandunganmu, jangan harap aku akan kembali! Jangan pernah mencariku kalau kamu belum mau mati!” ancam kekasihnya dengan pandangan merendahkan. Lalu pria brengsek itu meninggalkan Bunga begitu saja seolah tak pernah ada cinta diantara mereka.
Saat itu ingin rasanya Bunga memaki dengan kasar. Membeberkan harapan palsu yang dulu dengan mudah kekasihnya janjikan. Tapi, Bunga juga menyadari kebodohannya. Dia baru mengerti, bahwa pria baik tidak akan memberi harapan yang tidak bisa diwujudkan. Tidak akan mengobral janji yang tidak mampu dia tepati. Setelah disakiti, dirusak, dan dikecewakan sampai sehancur ini Bunga baru menyadari bahwa kekasihnya tak lebih dari seorang pria bermulut besar yang tidak memiliki kesetiaan untuk perempuan.
Bunga mencoba tabah meski setelah kandungannya membesar hidupnya semakin tidak mudah. Bunga sadar betul, sakit yang dia rasakan adalah buah dari bibit ketidakbaikan yang dia tanam.
Setelah kepergian pria itu, seluruh barang-barang berharga yang pernah dia terima dijual. Untuk mencukupi seluruh kebutuhannya selama mengandung. Cinta sebelum waktunya telah membuat Bunga menjadi sesulit ini. Pendidikannya hancur. Bunga lebih memilih kuliahnya berantakan daripada melakukan aborsi. Dia tak mau menambah daftar panjang catatan dosanya. Selama delapan bulan, Bunga menutup diri. Menghindari orang-orang. Mengasingkan diri di ibu kota yang tak pernah sepi. Berpindah-pindah kosan agar tidak ketahuan teman. Tidak pulang ke rumah sejak kandungannya mulai membesar. Rumah orang tuanya di desa dan ibu kota berbeda pulau. Sehingga dengan alasan terlalu jauh, Bunga tidak pulang akhir semester lalu.
Tidak ada orang yang tahu tentang kehamilannya, selain Bunga, kekasihnya, dan Tuhan. Perawakan bunga yang kecil, membuatnya tidak terlalu kesusahan menyembunyikan kehamilan.
Bunga berjanji, kalau bayi ini lahir dia akan mengurus anaknya asal Tuhan mengampuni dosanya. Atau paling tidak, meringankan hukumannya. Dia siap didepak dari rumah. Dia siap diasingkan keluarga. Asalkan dia berkesempatan untuk menebus dosa dengan menghidupi bayi yang tumbuh dalam rahimnya. Karena Bunga tahu, kekasihnya tidak akan membantu. Pria itu pasti lebih memilih istri sahnya daripada seorang mahasiswi tolol yang mudah menyerahkan tubuhnya pada pria bermulut besar.
Bunga mengupayakan seluruh kekuatan yang dia miliki sampai tubuhnya terasa seperti robek. Dia merasakan sakit berkali-kali lipat dibandingkan tadi. Ada sesuatu yang  keluar dari tubuhnya. Dia mengangkat sedikit kepala untuk melihat ke bagian bawah daster. Ada banyak darah di sekitar paha dan selangkangannya. Kepala bayi yang baru saja dia lahirkan telah terlihat.
Bunga kembali mengatur napas. Merasa sedikit lega setelah melihat sebagian tubuh anaknya. Sedikit lagi...sedikit lagi! Bunga berteriak dalam hati. Masa paling berat dalam hidupnya akan berakhir setelah bayinya berhasil dilahirkan.
Tenggorokannya terasa kering. Dia kembali mengumpulkan tenaga. Namun Bunga tak mampu lagi melakukan apapun. Tenaganya habis. Bukan hal yang mudah untuk melahirkan seorang diri diusia semuda ini. Tubuh bayi malang itu belum seluruhnya keluar. Namun Bunga tak lagi bertenaga untuk melahirkannya.
***
Bibirnya tak akan lagi tersenyum. Mata yang dulu terlihat menggoda, kini sayu. Wajah yang dulu cerah, kini seperti mutiara kehilangan kilaunya. Mulut yang sering mengatakan cinta, mulut yang sering bicara manja, mulut yang pernah menghadirkan banyak tawa, kini tak bahkan tak mampu bicara. Hidung bangir yang akan sedikit berkeringat ketika lelah, kini tak mampu lagi membantu proses respirasi dalam tubuhnya. Selamanya.
Bunga yang bersimbah darah tergeletak diatas karpet beludru merah. Bayi malang yang belum tuntas kelahirannya, juga mati diantara kedua kaki ibunya.

*** 

7 komentar:

  1. keren Cerita Fiksinya Teh, intinya harus selalu berhati-hati dlm berpacaran dan jgn terlalu kebablasan dlm berpacaran yah... :)

    BalasHapus
  2. Cerita menyentuh, sekaligus menyindir kalangan anak muda yang sekarang makin bebas aja gaya berpacarannya.

    Gak adil, kenapa Bunga harus mati? Kenapa bukan si pacarnya itu aja yang mati di tangan istrinya? :(

    BalasHapus
  3. seram juga ya ,kasihan si bunga -_-
    dikehidupan nyata juga ada ya sepertinya.

    BalasHapus
  4. Pengen sekali bisa nulis cerita fiksi seperti ini. Apa daya sering mentok di tengah jalan alias buntu.

    BalasHapus
  5. terimakasih telah menyebut saya bunga, tapi...bunga apakah yang layak di sematkan pada saya, coba?

    BalasHapus
  6. Bagus cerita nya.. :) pengen bisa buat cerita Fiksi

    BalasHapus
  7. mengaharukan sekali, kadang pria yang di anggap baik belum tentu niatnya baik, perlu lebih hati2, apa lagi yang namanya sudah cinta bisa mengalahkan segala. bahkan nasihat orang tua pun tidak akan di dengarkan bila cinta sudah meraja

    BalasHapus