Pria
baik tidak akan memberi harapan yang tidak bisa diwujudkan.
Tidak
akan mengobral janji yang tidak mampu dia tepati.
***
Kisah ini terjadi di kamar
kos berdinding hijau pucat. Jendela kamar itu tertutup rapat. Pintunya
terkunci. Gordennya juga tertutup rapi. Di dalam kamar itu ada barang-barang
khas anak kosan.Televisi, rice cooker,
rak buku kecil, kipas angin, sebuah lemari baju, dan tempat tidur berseprai
warna biru. Laptop, tas, sepatu, dan barang-barang lain tersimpan rapi pada
tempatnya.
Kamar yang selalu
bersih dan wangi itu dihuni seorang perempuan berwajah ayu. Sebut saja dia
Bunga. Wajahnya sempurna tanpa cela. Senyumnya manis. Mata indahnya tidak
membutuhkan riasan berlebihan. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi cukup
menggemaskan. Kecantikan sederhana yang dia miliki, tidak membuatnya meragukan
Tuhan dengan melakukan perubahan di sana-sini. Bunga hampir tak pernah mau
repot-repot merias diri demi dipuji cantik. Satu-satunya hal yang membuat ia
repot adalah ulah nakalnya beberapa bulan yang lalu.
***
Sore ini ibu kota
diguyur hujan lebat. Gemuruh petir bersahutan. Dalam udara yang dingin, Bunga tidur
lemas diatas kasur. Seluruh tubuhnya nyeri. Kakinya bengkak. Dia gelisah. Bunga
berguling ke kanan dan ke kiri. Tangannya tak lepas mengelus perutnya. Pandangan
matanya buram, Bunga terjatuh dari tempat tidur.
Bunga meringis sakit. Rasanya
dia tak mampu untuk bangun dan naik ke tempat tidur lagi. Bunga membiarkan tubuhnya
tergeletak diatas karpet beludru merah yang mengalasi lantai kamar kosnya. Keningnya
berkeringat. Nafasnya terengah-engah. Tadi dia menyalakan televisi dengan volume
agak keras. Memang sengaja untuk mengecoh penghuni kos lain agar tidak
mendengar erangannya. Karena Bunga memiliki firasat, sekarang adalah saatnya.
Meski dalam perhitungan, saat ini belum waktunya.
Tubuhnya bergetar.
Kakinya terasa lemas. Karpet berwarna merah itu kini basah. Entah cairan apa
yang keluar dari tubuhnya. Mengotori lantai kamar kosnya yang selalu bersih. Bunga
berusaha meraih ponsel yang ada diatas kasur. Sayang, tubuhnya tak bertenaga bahkan
meski hanya untuk menggeser badan.
Seharusnya dia sekarang
tidak sendiri. Pria yang bersumpah akan melakukan apa saja demi kebahagiaannya
harusnya ada bersamanya. Pria yang pernah berjanji tidak akan meninggalkannya, di
mana dia sekarang?
Bunga menatap
langit-langit kamar kosnya. Menyapu pandangan ke setiap penjuru. Dia takut
malaikat pencabut nyawa sudah bersiap-siap di kamarnya. Dia sungguh belum ingin
mati. Setidaknya sampai dia mendapat maaf dari ayah dan ibunya. Dia tidak ingin
mati sendiri. Setidaknya sampai ada seseorang yang menemukannya, dan menyampaikan
bahwa dia sangat mencintai orang tuanya. Dia tak ingin mati sekarang. Setidaknya
sampai kekasihnya tahu, bahwa saat ini Bunga hampir kehilangan nyawa karena
perbuatan mereka.
Di detik-detik terakhir
Tuhan akan menutup pintu maafnya, Bunga merasakan sesal yang menggunung
dihatinya. Dadanya sesak luar biasa. Seandainya dia baik-baik menjaga diri,
seandainya Bunga hanya memasrahkan cintanya kepada Tuhan, mungkin sekarang
hatinya tidak akan sesakit ini. Ingin rasanya dia memohon maaf pada orang-orang
yang hatinya sudah dia patahkan. Pada kepercayaan orang tuanya yang sudah dia
buat berantakan.
***
Malam
itu, dalam mobil setelah pulang kuliah....
“Kamu tidak
mencintaiku!” Pria itu memalingkan wajah.
“Aku mencintaimu.”
Bunga menjawab dengan nada bicara yang meyakinkan.
“Tapi tidak sesayang
itu!” Tukas kekasihnya. “Untukmu aku sudah berkorban banyak. Kuberikan apa saja
yang bisa membuatmu bahagia.Tapi kamu?” Ucap pria itu sambil menatap Bunga
dengan pandangan yang tajam.
Bunga teringat pada
semua kesenangan yang sudah pria itu berikan. Hari-hari merah jambu bersama
kekasihnya selalu tertulis apik dalam memoarnya. Kehangatan, perhatian, kasih
sayang, dan hadiah-hadiah mewah yang mungkin tidak akan mampu dia beli meski
menabung seumur hidup. Bunga terdiam sejenak. Kekasihnya telah memberikannya
bahagia dan kebebasan yang tak pernah dia dapatkan selama tinggal di kampung.
Aturan orang tuanya yang kolot membuatnya merasa terkekang. Sampai ketika ada
kesempatan untuk meninggalkan desa dan kuliah di ibu kota, hati Bunga merdeka.
Bunga menatap wajah
kekasihnya. Waktu, canda, dan kebahagiaan yang pria itu berikan begitu banyak.
Pria itu mencintainya hampir sempurna. Hampir tak pernah membuat Bunga kecewa.
Meski sebenarnya dibalik hati Bunga yang dibahagiakan, ada kepingan hati yang merana
karena pengkhianatannya. Bunga bukan perempuan yang pertama. Karena setelah
bersenang-senang bersamanya, pria yang usianya masih terbilang muda untuk
menjadi ayah itu― akan kembali ke rumahnya. Kembali kepada istrinya. Kembali
kepada anak dari perempuannya yang sah.
“Apapun yang terjadi
padamu, aku janji akan bertanggung jawab.”
“Sungguh?”
“Apa aku pernah
membohongimu?”
Bunga menggeleng. Dia
merasa pria itu tidak pernah berbohong padanya. Padahal, pria itu telah
melakukan banyak kebohongan pada istri dan anaknya.
Malam itu Bunga mematahkan keyakinan dan
norma-norma yang selama ini dijaganya. Sesuatu terjadi di jok belakang mobil
kekasihnya.
***
Perut bunga semakin
sakit. Lengan kanannya mencengkram tepi tempat tidur dengan kuat, sampai kukunya
patah. Perempuan 20 tahun itu meringis kesakitan. Perutnya mulas seperti
dililit ular phyton berukuran
raksasa. Tulang-tulangnya terasa remuk. Ususnya seperti melilit lambung. Dia mengatur
nafas. Bunga bisa merasakan irama jantungnya tak bergdegup seperti biasa. Sebisa
mungkin dia menahan diri untuk tidak menjerit menahan sakit. Seluruh tenaganya
dikerahkan.
Bunga menatap ke arah
pintu. Berharap pria brengsek yang selama ini telah dia cintai akan datang. Lalu
memangku tubuhnya menuju tempat bersalin terdekat. Atau paling tidak, ada
menemaninya. Merelakan tangannya dicengkram demi Bunga yang sedang
memperjuangkan hidup seorang bayi tak berdosa hasil perbuatan kotor mereka. Dan
menyemangatinya dengan kalimat-kalimat yang menguatkan. Tapi tidak mungkin.
Sejak lima bulan lalu
pria itu tak pernah datang lagi setelah Bunga menolak menggugurkan bayi yang
tumbuh dalam rahimnya.
“Kalau kamu tidak mau
menggugurkan kandunganmu, jangan harap aku akan kembali! Jangan pernah
mencariku kalau kamu belum mau mati!” ancam kekasihnya dengan pandangan
merendahkan. Lalu pria brengsek itu meninggalkan Bunga begitu saja seolah tak
pernah ada cinta diantara mereka.
Saat itu ingin rasanya
Bunga memaki dengan kasar. Membeberkan harapan palsu yang dulu dengan mudah
kekasihnya janjikan. Tapi, Bunga juga menyadari kebodohannya. Dia baru mengerti,
bahwa pria baik tidak akan memberi harapan yang tidak bisa diwujudkan. Tidak
akan mengobral janji yang tidak mampu dia tepati. Setelah disakiti, dirusak,
dan dikecewakan sampai sehancur ini Bunga baru menyadari bahwa kekasihnya tak
lebih dari seorang pria bermulut besar yang tidak memiliki kesetiaan untuk
perempuan.
Bunga mencoba tabah
meski setelah kandungannya membesar hidupnya semakin tidak mudah. Bunga sadar
betul, sakit yang dia rasakan adalah buah dari bibit ketidakbaikan yang dia
tanam.
Setelah kepergian pria
itu, seluruh barang-barang berharga yang pernah dia terima dijual. Untuk
mencukupi seluruh kebutuhannya selama mengandung. Cinta sebelum waktunya telah
membuat Bunga menjadi sesulit ini. Pendidikannya hancur. Bunga lebih memilih kuliahnya
berantakan daripada melakukan aborsi. Dia tak mau menambah daftar panjang
catatan dosanya. Selama delapan bulan, Bunga menutup diri. Menghindari
orang-orang. Mengasingkan diri di ibu kota yang tak pernah sepi.
Berpindah-pindah kosan agar tidak ketahuan teman. Tidak pulang ke rumah sejak
kandungannya mulai membesar. Rumah orang tuanya di desa dan ibu kota berbeda pulau.
Sehingga dengan alasan terlalu jauh, Bunga tidak pulang akhir semester lalu.
Tidak ada orang yang
tahu tentang kehamilannya, selain Bunga, kekasihnya, dan Tuhan. Perawakan bunga
yang kecil, membuatnya tidak terlalu kesusahan menyembunyikan kehamilan.
Bunga berjanji, kalau
bayi ini lahir dia akan mengurus anaknya asal Tuhan mengampuni dosanya. Atau
paling tidak, meringankan hukumannya. Dia siap didepak dari rumah. Dia siap
diasingkan keluarga. Asalkan dia berkesempatan untuk menebus dosa dengan
menghidupi bayi yang tumbuh dalam rahimnya. Karena Bunga tahu, kekasihnya tidak
akan membantu. Pria itu pasti lebih memilih istri sahnya daripada seorang
mahasiswi tolol yang mudah menyerahkan tubuhnya pada pria bermulut besar.
Bunga mengupayakan
seluruh kekuatan yang dia miliki sampai tubuhnya terasa seperti robek. Dia
merasakan sakit berkali-kali lipat dibandingkan tadi. Ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Dia mengangkat sedikit
kepala untuk melihat ke bagian bawah daster. Ada banyak darah di sekitar paha
dan selangkangannya. Kepala bayi yang baru saja dia lahirkan telah terlihat.
Bunga kembali mengatur
napas. Merasa sedikit lega setelah melihat sebagian tubuh anaknya. Sedikit lagi...sedikit lagi! Bunga
berteriak dalam hati. Masa paling berat dalam hidupnya akan berakhir setelah
bayinya berhasil dilahirkan.
Tenggorokannya terasa
kering. Dia kembali mengumpulkan tenaga. Namun Bunga tak mampu lagi melakukan
apapun. Tenaganya habis. Bukan hal yang mudah untuk melahirkan seorang diri
diusia semuda ini. Tubuh bayi malang itu belum seluruhnya keluar. Namun Bunga
tak lagi bertenaga untuk melahirkannya.
***
Bibirnya tak akan lagi tersenyum.
Mata yang dulu terlihat menggoda, kini sayu. Wajah yang dulu cerah, kini
seperti mutiara kehilangan kilaunya. Mulut yang sering mengatakan cinta, mulut
yang sering bicara manja, mulut yang pernah menghadirkan banyak tawa, kini tak
bahkan tak mampu bicara. Hidung bangir yang akan sedikit berkeringat ketika
lelah, kini tak mampu lagi membantu proses respirasi dalam tubuhnya. Selamanya.
Bunga yang bersimbah
darah tergeletak diatas karpet beludru merah. Bayi malang yang belum tuntas
kelahirannya, juga mati diantara kedua kaki ibunya.
***
keren Cerita Fiksinya Teh, intinya harus selalu berhati-hati dlm berpacaran dan jgn terlalu kebablasan dlm berpacaran yah... :)
BalasHapusCerita menyentuh, sekaligus menyindir kalangan anak muda yang sekarang makin bebas aja gaya berpacarannya.
BalasHapusGak adil, kenapa Bunga harus mati? Kenapa bukan si pacarnya itu aja yang mati di tangan istrinya? :(
seram juga ya ,kasihan si bunga -_-
BalasHapusdikehidupan nyata juga ada ya sepertinya.
Pengen sekali bisa nulis cerita fiksi seperti ini. Apa daya sering mentok di tengah jalan alias buntu.
BalasHapusterimakasih telah menyebut saya bunga, tapi...bunga apakah yang layak di sematkan pada saya, coba?
BalasHapusBagus cerita nya.. :) pengen bisa buat cerita Fiksi
BalasHapusmengaharukan sekali, kadang pria yang di anggap baik belum tentu niatnya baik, perlu lebih hati2, apa lagi yang namanya sudah cinta bisa mengalahkan segala. bahkan nasihat orang tua pun tidak akan di dengarkan bila cinta sudah meraja
BalasHapus